Selasa, 16 Februari 2016

Wasiat Kepagian

Jalanan di kebun tak pernah bertanya, layakkah ia menjadi setapak yang di lewati oleh kebanyakan manula tua dengan beban di pundak, entah itu memikul hasil kebun atau menggendong hasil jarahan alam. Yang setapak kecil itu tahu, ia akan melicin ketika musim penghujan tiba. Ia akan menjadi sangat mengancam dan memberi bahaya bagi siapapun empunya kaki yang tak berhati-hati menapaki, terburu pun terkadang bisa menjebloskan.
.
Pasir di pinggiran laut tak pernah bertanya, indahkah ia menjadi backgroud bagi siapapun pelancong yang datang dan tertawa bahagia terciprat debur air asinnya. Pantai tak pernah bertanya, bersihkah ia untuk di jadikan alas duduk bagi berapapun bongkah manusia yang tengah mencoba mengguyur isi otak dengan segarnya angin laut. Yang ia tahu, kombinasi antara sinar matahari dan semilirnya udara menjadikan alasan tepat untuk menahan banyak nyawa dan menggelapkan kulit raga mereka.
.
.
Alam tak pernah sekritis itu untuk mempertanyakan kelayakannya ketika di manfatkan manusia.
Seperti alam, aku juga selalu manut pada apa yang telah di gariskan. Aku hanya berfikir aku memiliki tugas untuk menjadi sadar akankah langkahku membahayakan bagi sekitar, atau justru tatapanku menyehatkan bagi siapapun yang sempat bertabrakan pandang.
.

Dan hari ini, aku ingin menjadi sesuatu yang lain. Aku ingin mencoba mengkhawatirkan dan bukannya sekedar menjadi sadar. Jika nama Einsten terkenang menjadi si ahli rupa-rupa angka, akan dikenang sebagai apakah aku ketika nanti ternyata harus tiada ? Jika selama ini Ari selalu berkata bahwa dirinya bahagia, akan terus baik-baik sajakah ia ketika ternyata nanti aku harus membumi mendahului nalar dan sadarnya ? Di hariku yang ingin mencoba menjadi sesuatu yang lain, aku memikirkan banyak tentang perpisahan. Marahkah Alfa karena keindahan dunia yang sempat kuceritakan padanya batal untuk kuperlihatkan ? Marahkah pengandungku sebelumnya, jika ternyata aku tak sempat menimbunkan tanah di atas kerangka kosongnya dikarenakan aku telah dulu dan telah lama menjadi penghuni alam tiada ? Selayak itukah aku menerima banyak cinta selama ini ketika pada akhirny kata jika itu menjadi nyata ? Aku memikirkan tentang banyak perpisahan, dan semakin aku di serap putaran pikirnya, semakin besar pula keinginanku untuk memeluk kata selamanya. Mendekapnya erat dengan harap ia akan merasuk dan menyatu dalam raga yang terus melapuk seiring perpindahan jarum jam.
Jika saat itu datang, di mana aku benar-benar melambaikan kata perpisahan, aku hanya berharap Ari akan menemukan jalan menuju rumah yang selama ini terus ku sembunyikan. Rumah yang menjadi saksi aku tumbuh sebesar dan sekuat hari ini. Aku berharap Ari berhasil menemukan setapak ini, yang disetiap judul dan paragrafnya tersimpan banyak luka, duka, dan senyuman yang tak pernah kuperlihatkan padanya sebelumnya. Aku harap Ari sanggup menyeberangi betapapun berlikunya jalan menuju kejujuran yang ku sembunyikan. Rumah ini menumbuhkan nalarku dengan tepat, tak pernah aku menemukan kenyamanan seperti yang pernah dihadirkannya sekian tahun terakhir ini. Di rumah ini segala nada sumbang dan ketidaksempurnaan dari sebuah melodi hidup tersimpan. Kebanyakan dari mereka menjelma menjadi rangkaian kata-kata yang selamanya hanya akan menjadi tanda tanya. Kebanyakan dari mereka terlumuri irisan hati yang tak pernah terhidangkan bagi siapapun tamu. Tidak pula tersajikan kepada Ari yang notabene adalah penghuni nyawa ini. Dan Ari dengan mahfumnya memahami kenapa selalu lapar dengan berbagai pertanyaan. Ia selalu berkata jika aku tak pernah mau berbagi duka dengannya, tanpa tahu jika duka itu akan menjadi luka penyayat hatinya jika sampai tersampaikan padanya. Apapun bahasa yang menjadi jembatan, tetap saja pedang adalah pedang yang memiliki tajam di sepanjang jilatannya. Aku selalu mengira Ari akan terpahamkan hanya dengan menelan air mata, tapi air tak memiliki suku kata dan juga koma. Ari terlalu bodoh untuk pelajaran menangkap dan meraba. Tapi aku mengagumi ketahanannya mencerna segala tanya dalam keadaan lapar. Aku mengagumi ketahanannya menahan lapar.
.
Hari ini, saat dimana aku merasa telah berubah menjadi sesuatu yang lain, menjadi sesuatu yang lebih kritis dan bukan hanya sekedar sadar, dan ternyata aku salah. Aku masihlah si nama yang manut pada garis dan alam. Aku masihlah si nama yang tak pernah bisa mengkhawatirkan. Tentang sebuah judul bernama perpisahan yang sempat ku pertanyakan diawal paragraf, ia telah kehilangan daya dan kekuatannya untuk mencekam. Seperti alam yang tersadar bahwa dirinya akan melicin dimusim penghujan, seperti itulah aku menerima bahwa tak perlu ada yang dicemaskan tentang sebuah perpisahan. Melalui rumah ini, semoga Ari dan pengandungku sebelumnya tersadar. Bahwa jika nanti aku harus membumi, aku pergi dengan segala kerelaan. Dengan segala kesadaran dan bukan ketakutan. Sekalipun tetap, aku menyimpan satu bekal yang tak pernah kulahap hingga kemudian membasi dan lenyap dengan sendirinya, yakni sebuah kata selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar