Minggu, 21 Februari 2016

Kado di Penghujung Ramadhan

Jika suatu hari nanti seseorang bertanya dimana tempat yang memiliki kesan paling mendalam selama hidup, maka jawabanku adalah jembatan di ujung kota.
.
.
.
Sore ini adalah tepat empat hari terakhir di bulan ramadhan 2013. Aku dengan berwajahkan peluh khas orang baru pulang kerja. Mendarat di tempat yang engkau janjikan lebih awal, dan ketika aromamu mulai tertangkap indra penciuman aku tahu hari ini akan menjadi bersejarah dan tercatat dalam kenangan. Senyummu mengembang bak kue dengan takaran gula berlebihan, manis seperti biasanya. Desir kencang angin sungai menjelang petang tak bisa menyamarkan detakan keras salah satu organ tubuhku. Ini adalah untuk ketiga kalinya aku "berkencan buta" denganmu di tempat yang sama. Dan keseratus kalinya untukku menepi di sisi jembatan, melamunkan namamu dan tersenyum sendiri memahami adanya kebodohan. Mataku tidak bisa menyembunyikan apapun, termasuk ketika harus mengagumimu dan bersorak-sorai karena ajakanmu berbicara ringan di tepi jempatan. Dua "kencan buta" yang lalu adalah sebuah ketidaksengajaan, dan hari ini adalah istimewa. Senyum yang biasa kunikmati setelah mencuri dalam diam, pagi tadi menghampiriku, mengatakan bahwa ia perlu berbicara empat mata denganku. Tuhan, terimakasih cintaku telah tersampaikan hanya dengan tatapan.
.
Aku menjejakkan kaki kembali di badan jembatan ketika tanganmu menyodorkan untukku sebotol minuman dingin, saatnya mengakhiri rasa dahaga. Engkau diam, tidak seperti hari kemarin dan biasanya. Hening meresapi perpaduan sapuan sejuk angin sungai dan dinginnya air di tangan, hari ini bukan harimu berpuasa, sekalipun kau seharian tetap menahan diri untuk tidak makan di depan yang lain, tapi aku paham..matamu memberi tahuku bahwa engkau tengah menyembunyikan kebenaran.
"Apa yang terjadi.?" Itu adalah pertanyaan pertamaku sebelum puluhan tanya yang lain memberondong bak senapan yang meluapkan isi perutnya. Aku tahu, sesuatu tengah bergulat di otakmu. Sekali lagi matamu memberitahuku bahwa di dalam sana tengah terjadi bencana. Tuhan, "kencan buta"ku kali ini tidak akan baik-baik saja. Dan dari satu pertanyaan pertama yang terlontar dari mulutku, engkau berhasil memuntahkan segalanya. Menjelaskan kenapa petang ini aku harus sampai dirumah lebih malam, menjelaskan kenapa matamu harus meneteskan amunisinya, menjelaskan alasanmu selalu linglung menimbang takaran gula di dalam kukuman senyummu itu selama ini, mempertanyakan pula langkah yang harus kau ambil demi tetap bahagia. Dan aku dalam langkah kewalahan berusaha keras memegang erang tiang yang membujur di sepanjang badan jembatan, memastikan untuk tetap memijak daratan dan bukan membabi buta lari lalu menceburkan diri di sungai yang alirannya mulai tenang tersirep petang.
-
--
---
----
Getaran yang diakibatkan lalu-lalang kendaraan terasa semakin kencang..
-
--
---
----
Suaramu mengabur tergantikan oleh sealunan lembut musik pengiris hati yang datang entah dari penjuru mana, aku mengutuk kenapa tidak mengajakmu duduk santai dibawah jembatan agar jika sesuatu seperti ini terjadi suara alam akan sanggup menulikan hingga bisikan terdalam..
-
--
---
----
-----
Sekuat tanganku mencengkeram besi jembatan, sekuat itu pula aku menahan diri untuk tidak mengamuk dihadapanmu, lalu berkata bahwa tidak hanya mata, tapi hati dan sebagian darahku telah terracuni cinta dan siap untuk memahamimu..
.
.
.
Kencan pertamaku benaran membuat hatiku buta. Entah siapa disini yang tengah dalam posisi menghibur dan dihibur. Mataku dan matamu sama-sama sembab terlelehi air mata. Beruntung tak kuijinkan retina itu menangkap kesedihanku. Bibir bersenyum palsu ini berhasil menyembunyikan segalanya, hingga engkau tetap merasa nyaman memuntahkan semua isi hati. Ini adalah kali pertamaku melihat seorang keturunan Adam menangis, Lelaki cengeng!
.
.
.
"Aku mencintainya, lama sebelum kita berkenalan..",
"Haruskah aku memberanikan diri menemuinya.?",
"Kamu tahu apa warna kesukaannya.?",
.
.
.
"Ibuku menderita karena ayah..",
"Aku memikirkan adik-adik kecilku..",
"Bagaimana jika dia menerimaku dan kami menikah muda.?",
.
.
.
Semua pertanyaanmu bak lolongan serigala di pagi buta. Menembusi tak hanya kulit ari namun juga hingga sendi. Melebur bersama aliran darah bak setetes bahan peledak di sungai yang dangkal. Aku belum mempersiapkan diri untuk tenggelam, aku belum sesiap itu untuk berhenti menikmati sajian kue-kue kemanisan yang engkau hidangkan. Aku bahkan belum mempersiapkan diri untuk jatuh cinta. Kekaguman yang selama ini kubahasakan atas nama cinta pasti hanyalah sebatas obsesi saja. Karena nyatanya ketika kumasuki duniamu lebih dalam, belum siap bagiku dan kakiku terseok memahami misteri dari isi hati dan kepalamu. Matamu yang sebelumnya selalu kusangkakan menyampaikan rasa, ternyata tak lain adalah mata buta yang tak sanggup sekedar membaca.
.
.
Hari ini berakhir dengan begitu membekasnya. Dan jika suatu hari nanti seseorang bertanya dimana tempat paling berkesan selama hidup, jembatan di ujung kota adalah jawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar