Jumat, 04 Maret 2016

Lepaskan Saja Kawan

Bertahun-tahun menjadi orang yang kau sandangi pangkat kawan membuatku paham, bola birumu tak pernah sesukses itu memendarkan kesedihan. Lingkaran bening disana selalu bisa membuatku berkaca, melihat lagi jalan sesat yang mungkin hendak ku tapaki. Lewat matamu engkau berbicara, menjagaku dengan pergerakan lincah bola biru di tengahnya. Dan hari itu merubah segalanya. Aku melihat duka, kejernihan yang selayaknya kaca tengah terkopyok lara. Aku sanggup melihat duka dimatamu. Tergambar jernih, sejelas aku membaca not patah yang jatuh menumpangi air asin dari pelupukmu. Sahabatku tengah terseok memunguti kekuatan, untuk menerima lalu tertatih belajar mengikhlaskan.
.
Bertahun-tahun menjadi nama terdekat yang tidak hanya paham wangi tapi juga aroma borokmu, membuatku sedikit mengerti tentang duka yang tengah mengeroyokmu. Engkau adalah pemilik rasa termurni yang pernah aku tahu, namanya tak pernah alpa hadir dalam doamu sebelum mimpi menyapa, bahkan nama itu telah menyatu padu bersama detak jantung dan setiap perjalanan darahmu. Aku seperti tidak pernah melihat orang sejatuh dirimu, ledakan perdanamu tak segemerlap apa yang di angankan, kembang apimu tak memental jauh ke langit melainkan tersulut dengan kecepatan diatas ambang batas hingga tanpa sadar api itu justru membakarmu, melukaimu.
.
Aku memahami kedalaman yang sempat menelanmu sekonyong-konyong. Senyuman mata itu memang terlalu mematikan untuk sekedar dianggap angin lewat, engkau terpeleset tepat di lingkaran hitam retinanya, senyumnya mendorongmu untuk tersuruk jatuh dalam dan lebih dalam lagi. Si astronot amatir dalam penerbangannya yang gagal sebelum sempat lepas landas. Bulan itu tak tercapai, langkahmu tertahan di bumi namun kini pijakannya ratusan kali lebih membebani ketimbang sebelumnya. Sahabatku adalah astronot malang yang kini merangkul pijakan besar
.
.
.
Sudah lepaskan saja kawan, relakan ia untuk menjadi milik dari nama yang masuk dalam jajaran kesayanganmu. Relakan saja ia bertualang, hingga suatu saat sadar bahwa engkaulah daratan yang tercipta paling pas untuk pendaratannya. Tak perlu mengulum sesal, karena memang tak ada cinta yang hadir tanpa meninggalkan buah tangan. Tak perlu menggenggam dendam, ia yang sekarang mendapatkan buruanmu adalah murni sebuah keberuntungan, jangan membenci faktor beruntung dari siapapun, karena bola itu suatu saat tiba tepat di pangkuanmu. Pada saatmu.
.
Lepaskan saja kawan, lepaskan dan lepaskan. Jika engkau tahu aku bahkan masih bisa ikut merasakan nyerimu itu. Tak ada yang akan sebanding dari sebuah keikhlasan. Karena konon itulah level pembelajaran tertinggi umat manusia. Lepaskan saja kawan, lepaskan. Ia yang engkau relakan adalah tebing tertinggimu, tebing yang belum tentu sanggup di daki oleh dirinya yang beruntung itu. Engkau telah berada dalam puncak berbeda dari siapapun mereka, dan karena ketangguhanmu itu patut kuhadiahi sujud takjub padamu. Lepaskan saja kawan, biarkan langkahmu melenggang ringan menapaki ketinggian.
.
Karena aku tak sanggup lagi melihat duka itu bersarang di matamu. Mengetahuinya seperti akan sanggup meremuk redamkan hingga persendian. Sungguh tak pernah kutemui satupun makhluk yang sejatuh dirimu. Aku tahu engkau mulai bosan bernafas di bawah bayang-bayang. Cinta itu masih bersarang dan bersemayam dengan nyamannya disana, aku masih bisa melihat rindu menetes di setiap ujung bibirmu ketika ia mulai melemparkan sapa. Bahkan kekaguman itu masih menempati ruang pas dengan sangat manisnya. Lepaskan saja kawan, nama itu telah termiliki oleh seseorang. Lepaskan saja kawan, ia hadir di hidupmu tertakdir bukan untuk menjadi penghuni hatimu, tapi ia adalah tamu sayang, dan sungguh tak sopan menahan seorang tamu yang masuk hanya sekedar menandaskan dahaga lalu di paksa untuk tetap tinggal. Biarkan tsunami yang engkau sembunyikan itu berlalu, karena nama itu telah damai menjalani hidup dengan seseorang yang lain. Relakan, relakan dan relakan. Biarkan hantu yang mendiami sudut hatimu pergi, bersamaan membawa cinta yang belum tersampaikan itu. Biarkan hantu yang bercokol di tiang penyanggamu itu terbang, terbawa angin lalu tertelan awan. Sungguh kawan, tak ada jalan yang lebih mulia ketimbang belajar merelakan. Tak ada jalan yang lebih menggembirakan timbang rasa yang terikhlaskan. Jangan malu, jangan menangis, jangan bersedih kawan. Cinta pertamamu mengajarkan tentang pelajaran paling mahal. Bagaimana mungkin engkau harus berduka menerimanya ? Cinta pertama menghadiahimu ciuman terdalam. Melumat segala nafas hingga tanpa sadar engkau tercekik dan menangis terbuai nikmat yang disajikannya. Tak apa kawan, relakan dan relakan. Biarkan ia bahagia bersama layang-layang miliknya. Bukankah engkau pernah berkata jika bahagianya adalah bagian dan milikmu juga ? Lepaskan duka itu dari bola birumu. Tak tahan lagi aku melihatmu tersiksa. Tercekik cinta yang enggan lepas dari dekapan. Terlumat lara yang enggan turun dari gendongan.
.
.
.
Lepaskan saja ia kawan, lepaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar