Selasa, 19 Januari 2016

Tarian Kejujuran

Aku mengenali suara, yang bergaung dan menjalar cepat melalui ruang hampa. Aku mengenali suara, yang merembes melalui celah dinding warna hijau tua. Cermin besar tertempel disemua lembar dinding ruang, namun mataku tak kunjung berhenti mengedarkan pandangan.
Sebuah nama terus berputar diudara, mencekik nalar yang kian menipis dilumat bayangan. Semu mengaliri tiap persendian dan perlahan menaik turunkan tangan menciptakan sebuah gerakan. Gerakan anggun, gerakan tak beraturan berpadu mengisi udara yang tak mau berjabat tangan. Aku menarikan sebuah kejujuran, tanpa perlu bantuan adanya latihan atau sang pelatih juga. Diruang bercermin yang sekiranya sangat pas bagiku melihat segala sudut diri tanpa perlu lagi meminta nyawa lain untuk mengapresiasi.
.
Aku menarikan sebuah kejujuran, menyeimbangkan dengan birama dan ketukan. Menciptakan komposisi pas tanpa lagi mengingat kearah mana tangan dan kaki meliukkan badan. Aku hanya ingin bergerak, menari, mengunci segala emosi dan meluruhkannya lewat tetes-tetes peluh yang jatuh membasahi lantai. Aku menarikan sebuah kejujuran disebuah ruang hampa dengan seonggok buket bunga krisan dipojok ruangan, menunggu sentuhan, menunggu saat yang tepat untuk sebuah belaian dan ciuman.
.
.
.
Seekor cicak memandangi dalam remang, pantulan dudukan lampu menjadi tempat nyamannya bersembunyi dan mengintai. Tetes demi tetes berjatuhan seiring dengan banyak gerakan tak beraturan yang kutarikan. Aku tidak menyuguhkan tarianku bagi siapapun, termasuk kepada kawan lama yang tengah mengintai dalam remang. Aku yang tengah menikmati aksi peluruhan emosi tak lagi peduli aksi protes paru-paru yang ternyata kewalahan memasok oksigen demi menyeimbangkan banyak putaran. Tiga langkah depan, dua langkah menyamping. Tarian kejujuran berlalu tanpa iringan dan hanya menyisakan air asin berceceran, perpaduan antara peluh dan cairan bening yang mengalir dari retina. Ritual belum berakhir disini. Tidak akan berakhir sebelum bau wewangian ruang berganti menjadi bau anyir kehidupan. Tidak akan berakhir sebelum cermin-cermin besar disepanjang lembaran dinding memantulkan kolam merah yang mengaliri lantainya. Darah bukanlah cairan terakhir sebagai tanda adanya kehidupan. Dan sebuah tarian kejujuran tidak akan mencapai titik klimaks sebelum ruang hampa dengan ujung pintu berornamen cantik itu menghadirkan aura remang, sebelum buket bunga krisan dipojokan hidup dan kembali segar karena teraliri darah dari tarian kejujuran.
.
Seekor cicak meneteskan air mata. Cairan beningnya bak nila yang jatuh dibelanga penuh susu berwarna putih tulang. Begitu asing dan terasa benar keanomaliannya.
Seekor cicak dipersembunyian kesetrum energi yang ditarikan raga. Aku berhasil menitipkan secuil jiwa segar ditengah aksi membunuh diri. Seonggok buket krisan dipojokan ruang secara misterius tersenyum memandangi retinaku yang mulai perih dan mengeras. Seonggok buket krisan dipojokan menundukan tangkainya berucap terimakasih atas sebuah kejujuran yang berhasil kupersembahkan. Aku tidak menarikan kejujuran bagi siapapun, aku tidak hendak menyajikan gerak lihaiku bagi siapapun nama dan siapapun nyawa. Tarian berpeluh darah murni kupersembahkan kepada seonggok buket krisan dipojokan. Berharap didalam tangkai-tangkainya tersemai setetes air murni yang kelak dapat kugunakan untuk membangkitkan kewarasan. Tarian berpeluh darah murni kupersembahkan bagi seekor cicak dibalik celah remang yang tertutup dudukan lampu. Kepada mereka-merekalah aku sudi mengadu sedan. Menaklukkan banyak gerakan dan meluruhkan emosi dalam ujud tarian kejujuran.
.
.
.
Tubuhku terpelanting keras dilantai. Mengakibatkan bunyi kecipak yang disertai lenguhan lara. Cermin-cermin disepanjang lembaran dinding tak lagi murni terang. Disana terdapat bercak merah. Ragaku mengisyaratkan titik lemahnya. Namun cermin itu memantulkan senyum. Aku berhasil tersenyum. Ditengah genangan merah darah, ditengah kepungan aroma anyir, aku berhasil tersenyum. Didalam ruang terang dengan semua pantulan sudut diri terpampang, aku melihat adanya kelegaan. Total empat kali aku melihat seekor cicak diatas sana menjatuhkan air asinnya. Ah, kawanku satu itu..sejauh ini, aku hanya berhasil mengajaknya berbincang melalui tatapan mata. Membiarkan darah anomali saling menyapa dan berkawan. Dan kali ini, dalam hitungan waktu yang tak bisa kugenggam, aku berhasil membuatnya meneteskan air mata. Tarian kejujuranku ternyata berhasil menyentuhnya. Berhasil mendaratkan seekor cicak yang beberapa waktu lalu sempat menghilang dari perederan.
Dan kepada seonggok buket bunga krisan dipojokan. Terimakasih untuk kesudiannya menundukkan keras tangkai-tangkainya. Terimakasih untuk kesudiannya mendengarkan dan menyaksikan tarian kejujuran. Tak lagi penting ataukah aku akan beranjak dari kolam tetesan darahku atau tetap membiarkan semuanya seperti sedia kala. Aku hanya ingin menikmati, aroma emosi yang mencair melalui pori-pori badan. Menikmati senyuman yang selama ini terus alpa untuk dihadirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar