Kamis, 05 Mei 2016

Sekuali Racikan Hujan

Ari. Satu suku kata. Hidup. Dan berdenyut.
.
.
.
Petang itu langit membayangi dengan payung kelabunya. Menyirami tanah kelahiran dengan aroma tanah menusuk khas bebauan yang menguar di hujan pertama. Aku tidak pernah menyukai hujan sebelumnya, hingga kemudian mereka datang. Kumpulan rintik yang perlahan membanjur genteng mengerontang hingga meluapkan semua cita dalam ujud rintik besar-besaran. Petang itu tanah beserta para penghuni perutnya berpesta. Hujan yang sekian lama didamba akhirnya menyapa. Dahaga yang sekian waktu harus tercukupkan dengan panjatan mantra mendadak terluapi. Dan Ari datang selaksa hujan. Menggenapi keping yang terserak dalam misteri bernama kelahiran. Ari datang sesejuk hujan. Melunturkan semua jenis mantra, menyirami dan menggantinya dengan cinta. Seperti juga para penghuni perut bumi yang bersuka cita menyambut kedatangan hujan pertamanya, seperti itulah juga euforia yang selaras hadir membekapku dalam menjelang kehadirannya.
.
Tidak ada yang akan bisa terpahamkan hanya dengan kata-kata mungkin. Karena memang, sejuk hanya bisa terungkap jika bersinggungan sendiri dengan pori. Dan hatiku tengah dalam masa mekarnya. Retak yang diakibatkan oleh musim kemarau sebelumnya, kerontang yang menguasai hampir seluruh jati diri. Dan tetes perdana Ari seketika menggenapi hingga tanpa sadar memuaikan apa yang sempat kuanggap itu sebagai hal yang mustahal. Kebahagiaan tak pernah dengan mudahnya tertuang dalam paragraf. Ari tidak hanya sekedar ini. Karena ia hidup. Dan berdenyut. Memompakan kekuatan dan juga mencairkan kebekuan. Pernahkah melihat api meleleh ? Aku adalah sejenis bara, dengan segala dayaku yang sanggup tak hanya membakar namun meluluh lantahkan dalam kekal. Dan tetesan itu adalah Ari. Ariku.
.
Hujan pertama datang dengan begitu mengejutkannya. Menjadikan dirinya salam pembuka yang pas bagi hujan kedua dan hujan selanjutnya. Sebagian kudengar mereka mulai mengeluhkan datangnya hujan, yang mulai mampir tanpa aba-aba, yang mulai menyalami map-map, baju dan tas mereka. Dan hujan ternyata tak hanya menyiramiku dengan kesejukkan air yang dibawanya, tapi ia juga mengajariku pelajaran berharga. Bahagia bisa pula menjelma bak rintik gerimis dikala matahari tengah berada dalam puncaknya. Turun seketika lalu menghilang begitu saja. Aku harus memerah otak monsterku. Mengolah sekuali cinta yang disuguhkan Ari dan memasaknya dalam tungku penuh bara. Agar kebahagiaan ini tidak hanya tersaji dalam hitungan jari, agar puncak dari kesejukan ini bisa dinikmati tak hanya dalam sekejap mata. Aku ingin mengukuhkannya selama mungkin, sepanjang mungkin.
.
Ari mungkin tak mengerti, bahwa aku tidak pernah terkesima pada keindahan warna-warni pelangi. Aku tak pernah benar-benar terpukau pada keajaiban yang disajikan oleh hujan sekejap mata. Aku lebih menyukai rintik hujan yang telaten membasahi, menggenapinya dengan membubuhkan beberapa imaji pada sesi-sesi melamun sembari menikmatinya. Aku ingin mengolah seberapa kecilpun bahan yang disuguhkan Ari. Dalam dapur agung milikku, dimana keajaiban yang lebih menyilaukan ketimbang pelangi diharapkan sanggup terhidang dimeja saji sebelum akhirnya diantara kami mati. Aku ingin meresapi, membumbui kepolosan cinta Ari dan sekali lagi meramunya dalam kuali diatas bara api. Aku tidak sanggup lagi mendustai apa yang terus menerus menjadi layangan di kepalaku. Aku mencium aroma kekekalan disetiap nafas yang di hembuskan Ari, aku mengendus adanya keabadian dari binar-binar matanya. Entah apa nanti yang terjadi jika hujan berhenti menyirami, entah apa nanti yang akan terjadi jika Ari mati. Aku tengah berkubang didataran penuh bahagia, bukan puncak karena memang tak pernah kuinginkan adanya jurang. Aku tengah berkubang didataran yang keluasannya terus kuperbesar. Satu rintik, dua rintik, jika hujan nanti mulai lelah mengairi, jika nanti Ari mulai menginginkan berhenti. Maka sekuali besar racikan kuharap sanggup menjadi pelepas dahaga. Sekuali besar racikan kuharap sanggup menjadi tongkat yang mengucurkan mantra pelekat. Agar hujan senantiasa rindu untuk kembali, agar Ari tak pernah memiliki secuilpun niat untuk berhenti.
.
.
.
Petang tidak pernah datang sendirian, bisa dipastikan ia selalu hadir membawa secuil remang. Menguliti setiap debur pekat dan menjadikannya pelajaran bagi yang sanggup dan menginginkan. Termasuk langit berpayung kelabu petang itu, yang mengajarkan dan menawariku sesuatu yang baru. Sekuali besar racikan. Lebih dari sekedar secangkir kopi panas yang menyenangkan, tapi ia justru mengenyangkan. Dalam pelajaran-pelajaran yang sebelumnya tak pernah terpikir akan menjadi sesuatu, terlebih menjadi sajian. Otak monsterku berputar secepat derasnya tetes hujan. Mengolah resah dan menjadikannya segulung adonan. Agar hujan senantiasa rindu untuk datang. Agar Ari selalu tahu kemana dirinya harus pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar