Selasa, 17 Mei 2016

Duka Tanah

Tanah berduka untuk ketidakberdayaan mengangkat mendung yang menaungi seekor cacing dipelukannya.
.
.
.
.
Kata siapa menjadi tempat bernaung adalah sebuah beban ? Tanah menjawab keraguan itu dengan tanpa berpikir lagi, karena memang ia telah membuktikannya. Bagi seluruh penghuni rimba disepucuk daratan nan terasing ini, tanah adalah ibu merangkap ayah yang tak hanya mengemban seberapapun menjulangnya dahan, sekaligus juga menjadi bank bagi pasokan makanan dan minuman mereka. Pohon-pohon dengan lingkar badan mencapai hingga lima pelukan manusia dewasa, sampai jamur dan lumut yang kadang tak tersadari keberadaannya, mereka menjadikan tanah sebagai pembimbing bagi setiap permasalahan rimba yang ada. Untukku tak terkecuali, aku adalah seekor kupu-kupu, saat itu usiaku tergolong muda jika dibandingkan makhluk rimba yang lain. Terlahir dari kepompong yang menggelantung didahan pohon besar ditengah lebatnya rimba, tak lantas menjadikanku kupu-kupu istimewa. Aku tahu, sebagian besar teman-temanku melewati masa kepompongnya dengan bergulung manis dipucuk daun pisang, tumbuh dewasa dengan sayap-sayap cantik berwarna cerah menantang matahari, sedangkan aku..sayapku tak lebih indah dari kulit pohon tua yang mengelupas, belum lagi corak abstrak yang dipilih pencipta menjadikanku kian merasa buruk rupa. Berhari-hari setelah masa lahirku sempurna, yang terus ku lakukan hanyalah diam menempel di atas rerumputan, aku tak sepede teman-temanku berkeliling hutan, warna dan corak sayapku terlalu mencolok untuk tidak ditertawakan. Berdiam adalah cara terbaik untuk mengutuki diri, membiarkan pepohonan riuh bergosip tentang gagak yang pongah, mengacuhkan pula sekumpulan jamur yang tak henti-henti berbisik sembari sesekali melempar tawa ngeri, entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya ingin diam dan menghilang. Terlahirkan hanya memberiku beban, mungkin selamanya menggelantung dalam kepompong lalu mengering dan mati akan lebih baik ketimbang harus melihat alam raya beserta isinya. Saat itu sungguh aku masih terlalu muda agar bisa memiliki rasa percaya untuk sekedar menegakkan kepala. Dan dalam hening yang tak ku sangka-sangka, ternyata tanah mendengarkan tangisanku. Selama ini aku selalu berpikir bahwa semua penghuni alam raya terlalu sibuk dengan kehidupan masing-masing. Terlebih untuk menggubris kupu-kupu muda yang tengah bermasalah dengan kepercayaan dirinya. Tapi tanah mengerti, melalui tetes air mata yang jatuh membasahi badannyalah ia mulai meraba dan membaca. Ia memanggilku adik kecil. Tak disangka, daratan yang hampir selalu menjadi pijakan bagi siapapun kaki, daratan yang hampir selalu bersembunyi dibalik terangnya hijau lumut itu adalah dewa. Bagaimana tidak, setiap ucapannya seperti dibubuhi mantra, setiap wejangannya selalu menggenapi apa yang selama ini kucari. Jawaban itu ada dibawah sana, terkubur dibawah licinnya gerombolan lumut dan sekawanan jamur. Ternyata benar desas-desus yang beredar selama ini, jika hanya ibu lah yang sanggup menjadi pendengar dan juga sumber kekuatan. Ibu itu engkau, tanah. Ibu yang merangkap sebagai ayah dan juga kawan. Ia tetap memanggilku adik kecil, bahkan hingga hari ini, saat dimana aku telah bermutasi dari kupu-kupu lemah menjadi si mental baja yang berhasil mengitari lebih dari separo badan rimba. Dan yang menyenangkan dari semuanya adalah, ketika pada akhirnya aku sadar bahwa aku tak pernah sendirian. Badan tanah membujur seluas rimba. Kemanapun dan setinggi apapun aku mengepakkan sayap, maka tanah selalu ada, siap sedia dibawah sana, seakan membayangi langkahku. Alam raya ini tak semengerikan yang dulu kubayangkan. Ketika pagi hari aku membuka mata, maka aroma tanahlah yang kuciumi hingga sesak paru-paru. Ia yang dengan keluasan hatinya sanggup rela menjadikan dirinya pijakan, tempat bersarang, bahkan tempat buang kotoran para binatang. Aku tidak kaget jika hampir seluruh penghuni alam raya mengagungkan keberadaannya. Namanya menggemakan kedamaian dan kesadaran.
.
.
.
Aku terlalu memuja tanah, begitu yang selalu para burung cicitkan setiap kali mendengarku berdongeng untuk kupu-kupu kecil. Mereka tidak sepenuhnya salah, karena memang, bagiku keberadaan tanah sangat berharga. Terkadang aku bahkan sudi menangis jika banjir mulai datang dan meluruh permukaannya. Ia selalu bersedih ketika air sekitar mulai meluap. Ia takut menghilang dan penghuni alam akan kehilangan pijakannya. Sedihnya adalah duka bagiku, termasuk rasa kepada seekor cacing istimewa. Sudah menjadi rahasia umum jika tanah memiliki adik kesayangan, seekor cacing tanah buta. Kepadaku duka itu pernah terbagi, bagaimana ia akan sudi mempertaruhkan apapun demi secercah cahaya bagi si cacing adiknya, bagaimana ia bercita-cita tinggi demi sanggup ada hingga adiknya itu tiada, dan yang terus bisa dilakukannya hanyalah mempersembahkan pelukan teraman dan juga doa. Tanah kebanggaanku menyimpan lara. Duka berkepanjangan yang kuduga mendasari adanya jawaban dari pertanyaan, kenapa ia bisa menjadi pribadi yang sebegitu rela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar