Rabu, 30 November 2016

Filosofi (maaf) Pakaian Dalam

Makan darah.
Awalnya aku berpikir jika kata itu terlalu keren untuk dijadikan sebuah judul paragraf panjang yang penulisnya sendiri masih bingung apa yang hendak disampaikan. Lalu kemudian hujan yang begitu setia memayungi malam ini tak membiarkan aku berputus asa. Ya. Terkadang, judul itu tidaklah penting. Terlebih tema. Jika kita tidak memiliki ambisi apapun untuk dicapai entah dalam sebuah hubungan, dalam mimpi, atau kehidupan ini sendiri, kenapa kita harus repot-repot memikirkan adanya judul ?
Sebuah hubungan adalah tentang timbal-balik. Ini menurut apa kata pikirku. Jika kita begitu pintar mengapresiasi apa itu arti helaan napas lalu mati rasa untuk bisa sekedar menghargai pasangan, apakah itu berarti mata kita yang buta atau belum terbangun dari tidur panjang ?
Aku tidak sedang mengeluhkan tentang pasanganku atau memilikinya sekalipun. Aku hanya sedang mencoba meraba dimana letak welas asih dan juga kelembutanku yang konon kedua hal itu dianugerahkan dengan porsi lebih kepada seorang wanita. Aku tidak memiliki keluhan apapun tentang pasanganku, dan mungkin dialah yang harusnya memiliki seribu lebih alasan untuk mengoreksi keburukanku. Ada berbagai macam cara untuk menunjukkan permintaan maaf kepada seseorang, termasuk menuliskannya diblog seperti yang tengah kulakukan malam ini. Yang sedihnya, si objek tidak akan membaca ini dan memahami bahwa pasangannya tengah mengulurkan tangan tanda perdamaian. Hanya ada sekian porsen dari begitu banyaknya manusia yang mau iseng-iseng membaca sebuah tulisan panjang dengan judul aneh bukan ? Yang sedihnya lagi, pasanganku tidak seteliti itu untuk mau memahami bahwa istrinya adalah yang seperti ini. Menganggap tulisan lebih bisa mendengarkan ketimbang telinga benaran.
Itulah kenapa aku pernah berpikir ingin menikahi seorang penulis saja. Karena penulis adalah telinga yang baik.

Aku memahami dengan baik apa isi dari kehidupan ini sebaik aku mengenali pakaian dalamku. Aku mendengar yang embun coba sampaikan kepada sinar mentari yang menyirami pagi. Aku melihat warna kumparan apa yang tengah menghubungkan jejaring antar dua manusia. Aku sanggup meraba apa yang orang lain sebut itu kasat mata. Tapi aku tidak bisa menambah lebih kesabaran untuk teman berbagi ranjangku sendiri. Aku marah untuk setiap hal kecil, bahkan untuk setiap satu kata yang luput dari ucapannya. Cara pandangku bagaikan pemikiran dewa dimata orang-orang yang memuja. Tapi dalam sekejap aku menjadi api jika itu dengan pasanganku sendiri. Aku begitu khidmat menikmati setiap udara yang mampir kedalam paru melalui lobang hidung. Tapi aku gagal menyalakan tombol sadar jika itu menyangkut teman berbagi piring makanku sendiri. Aku tak memiliki ambisi apapun untuk dikejar, tapi kepadanya..selalu kulimpahkan banyak angan dan harapan yang mungkin lebih memusingkan ketimbang mengurus hutang piutang. Aku selalu gagal menjadi dewa didepan pasanganku sendiri. Aku adalah itik yang terus memburuk rupakan diri sendiri sejalan dengan bertambahnya usia menua hubungan ini. Jika memungkinkan, aku ingin pasanganku mengetahui ini, dan memaafkan untuk setiap perkataan yang menyobek dinding hatinya. Aku tidak tau akan sampai kapan bisa menemaninya menapaki bahtera ini. Aku tidak tau sampai umur berapa bisa mengenyangkan perut dan juga hasratnya. Makan darah tidaklah sekeren ketika pertama aku menuliskannya untuk membuka paragraf ini. Makan darah, apapun arti dari kiasan itu tidak lebih bisa menggambarkan tentang drama dua anak manusia berumur jagung ini. Aku ingin bisa memanjangkan lagi letak sabar, sadar dan kendali atas diriku ini. Aku ingin lebih bisa menghargai pasanganku lebih dari kegilaanku untuk mengapresiasi adanya pelajaran disetiap sendi kehidupan ini.
Tak masalah jika hidupku tak berjudul, atau hubungan ini tidak memiliki tema. Kedamaian dan keabadian adalah cita-cita tertinggiku bersamanya selama ini. Jika jalanan yang selama ini selalu berkerikil, atau langkahku terus saja memijak bayang-bayangnya..mohon pemakluman, karena kapal yang tengah kutumpangi baru saja kemarin melepaskan tali tambatnya. Kami butuh lebih dari sekedar makan darah. Kami butuh lebih dari sekedar hantaman karang. Kapal baru dengan kemudi setir yang juga baru, arah yang baru, dan pengajaran yang selalu baru. Karena akhir masih panjang, dan aku bukan lagi berharap pasanganku adalah seorang penulis, aku ingin dia adalah seorang tukang kayu. Yang sanggup membuat kapal dengan tangannya sendiri. Yang mampu memegang kendali dan mengerti dimana letak setiap baut dan kunci. Yang mampu memahami dan memaklumi, bahwasannya dipelayarannya yang diharapkan hanya sekali dalam perjalan hidupnya, ia tengah mengangkut penumpang tidak tahu diri. Rekan berlayarnya adalah perempuan yang tidak sadar bahwa pemikirannya adalah kurcaci ditengah samudra troll gunung, yang selalu beranggapan dirinya adalah pujangga. Perempuan yang tidak kunjung sadar batasan antara arti kata pujangga dan gila hanya setipis pakaian dalam bekas. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar