Minggu, 08 Oktober 2017

Mantra Selanjutnya

Pesan singkat ini ada terkhusus untukmu yang pesat kembangnya selalu ku awasi dan begitu ku kagumi. Dan kau bisa memanggilku dengan nama ibu.
.
.
Awal dari semua ini jelas adalah sebuah perencanaan matang yang secara kebetulan di luluskan oleh Sang Pencipta. Ya, aku tak pernah begitu percaya bahwasanya doa adalah tak lain nama singkat dari mantra. Sampai kemudian hari itu datang. Bukan hari kedatanganmu yang kumaksudkan, tapi hari kesadaranku. Mantra tak lain adalah doa. Dan doa ialah mantra.
.
.
Suatu hari yang telah lalu, aku pernah bercita-cita untuk memiliki hanya satu lelaki di sepanjang hidupku yang singkat ini, kenapa di cita-citakan dan bukan di doakan ? Karena otakku mungkin tercipta lain, doa terhubung dengan Yang Maha Besar, sedangkan aku ini siapa ? Rasanya terlalu besar untuk meminta sesuatu kepada-NYA. Sementara di luaran sana, yang lebih segalanya dariku ada beribu bahkan milyaran beserta doa-doa yang terpangku di masing-masing kedua tangannya. Aku terlalu sadar diri untuk tidak semakin membebani-NYA dengan permintaan milikku yang begitu remeh dan tak berarti. Aku sengaja mendaftarkannya ke dalam cita-cita dengan niatan agar kelak dalam perjalanan memiliki tekad kuat demi mencapai apa yang di harapkan. Memantrainya setiap saat dan setiap hari agar benaran bisa terwujud apapun itu yang kucita-citakan. Dan ya, aku sedikit gagal untuk menjaga mata dan juga hatiku, karena faktanya aku pernah patah hati dan terluka meskipun tak pernah memiliki siapa-siapa. Dan Ari adalah perkabulan cita-citaku yang di dengar oleh Tuhan. Aku bahagia, tentu saja. Terlalu bahagia.
.
.
.
Kedatanganmu, separo tahun setelah hari penyatuan dengan Ari, engkau mulai menampakkan detak nadi. Jenis keajaiban yang baru pertama kali ku lihat dan ku kenali. Terkejut bukanlah satu-satunya kata yang pas untuk menggambar suasana hatiku saat itu. Aku takut, bingung, senang, sekaligus luar biasa senangnya. Dan ya, otakku memang tercipta dengan sedikit lain, hari-hari penantianmu terpenuhi dengan banyaknya taburan mantra dan juga doa. Aku menulis terlalu gembira saat itu di paragraf yang telah lalu, aku menelan semua kengerian demi menyambut utuh kedatanganmu. Dan aku tidak berpikir apakah suatu hari nanti jemarimu akan sudi memunguti mantra-mantra yang kusebar, dan keberadaannya terserak acak di seluruh dinding rumah kesukaanku.
.
.
Puluhan mantra ini, yang terus ku tambah seiring bertambahnya jumlah detak nadi, adalah bekal yang mungkin alpa ku berikan ketika usiaku bertambah nanti. Aku takut lupa untuk tidak memberikanmu segalanya yang terbaik, untuk itulah kenapa rumah tak berpintu ini ada, karena di harapkan setiap spasi dan judulnya adalah alarm bagi langkah-langkahmu. Karena di harapkan engkau tak akan lagi salah dalam melangkah seperti yang mungkin aku atau Ari pernah lakukan. Aku membekalimu dengan mantra, tak peduli jika engkau tak bertumbuh menjadi seperti apa yang kumau, tak peduli jika engkau bahkan tak mengetahui bahwa semua ini ada. Mantra-mantraku, di harapkan telah terbang jauh dan tinggi menembus awan dan tiba saatnya nanti akan sampai pada daftar tunggu doa kepada Yang Maha Sempurna. Ketahuilah nak, aku tak berhenti berdoa bahkan ketika keajaiban itu sebenarnya telah nyata ada di hadapanku.
.
Tak perlu lagi mengulangi apa yang kuharapkan kelak akan tertumbuh kepadamu, tak perlu lagi ku rinci apa yang kuminta darimu. Karena engkau mungkin akan bosan untuk mendengar dan membacanya. Tapi nak, seiring dengan hampir berakhirnya paragraf ini, bolehkah aku menambah lagi beberapa keinginan baru untukmu ? Pemikiran ini datang secara tiba-tiba, tapi percayalah, keresahannya telah menahanku selama sekian waktu. Yang pertama. Ini tentang Ari. Atau kau bisa menyebutnya sebagai ayah. Jika kelak datang hari dimana aku lupa atau tak lagi bisa mengurusi dan juga memperhatikannya, maka ketika hari itu tiba, perlakukanlah ia sebagai raja. Sebagaimana dulu ia menghabiskan segala dayanya demi memberikan perlakuan ratu kepadaku. Dia yang terbaik nak. Jika tanpa sengaja engkau menemukan beberapa cacat Ari yang pernah kusebar secara acak di dinding entah mana rumah ini, maka jangan dulu berprasangka. Karena hari itu aku bodoh, dan tengah berlatih menuju dewasa. Ari menuntun dan membantuku terlalu banyak untuk itu. Lalu, ketahuilah nak. Ini yang terpenting. Umurmu satu tahun lepas satu minggu ketika tulisan ini ada. Tapi dalam sekejap itu keberadaanmu, engkau telah memberiku banyak makna. Mengajariku apa yang luput Ari jabarkan. Menuntunku kepada jalan yang lupa Ari tunjukkan. Engkau mengajariku untuk menjadi ibu, anak, manusia, dan istri yang lebih sempurna. Oh..betapa mahal karunia yang kupegang semenjak kedatanganmu. Sungguh. Kesabaran, dedikasi, cinta, kasih sayang, dan bahkan untuk hal seremeh menghargai, aku perlu dan telah belajar semua itu darimu. Seiring dengan bertambahnya waktu, kantung belajar milikku akan semakin menebal. Dan kita akan bertumbuh menjadi teman yang saling mengait dan menguntungkan. Mantraku selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar