Selasa, 25 Juli 2017

Kado Yang Terlambat Datang

Dua tahun. Bukan lagi satu tahun sekian bulan, atau dua tahun kurang beberapa minggu. Tapi ini benaran dua yang utuh. Dan sepertinya aku telah sedikit menemukan kendali atas diriku kali ini. Tidak bermaksud sengaja memperpanjang kesabaran Ari hingga angka dua itu benar-benar utuh, tapi kemungkinan aku yang lelah untuk terus menentang.
.
Sinar temaram yang terus menerangi hari pernikahan kami, mendadak mendapat pasokan energinya secara tiba-tiba. Seperti separo gelas sirup yang terdesak oleh bongkahan es batu besar-besar. Dahagaku terpuaskan dalam umur kedua yang masih dikategorikan muda. Entah siapa yang memulai, tapi aroma rumah ini tak lagi seberingas ketika keberadaan Ari baru memasuki hitungan minggu dan bulan. Panas yang dulu terbakar pada malam pertama kedatangannya kian membara setiap harinya. Terus memuncak hingga kemudian angka dua menemukan keutuhannya. Tak ada lagi panas yang menyengat, yang ada tinggal bara yang menghangat. Dan aku menyukai itu.
.
Entah apa alasan di balik semua ini, tapi Ari terlihat lunak dan semakin manis akhir-akhir ini. Dan si kepala batu ini pun sepertinya tengah dalam separo jalan mengikis keras dirinya. Apalagi yang lebih membahagiakan ketimbang dua manusia yang tengah berusaha melunakkan diri agar lebih bisa saling terikat ? Dan Ari adalah pemenang. Bersamanya membuatku kembali ingin bermimpi, bersamanya membuatku tak lagi ngeri untuk berangan. Ari tak hanya membuatku terbang, tapi juga menumbuhkan sayap-sayap di punggung agar kelak aku bisa terbang tanpa bantuan.
.
.
Bukankah akan selalu ada cuaca cerah setelah badai menerjang ? Dan masa kritis momen romantisku berada pada dua ambang bulan. Yakni pada urutan ke tujuh dan ke delapan. Agustus adalah akhir. Berhentinya cerita cinta yang bahkan tak sampai di ujung lidah. Garis semu yang hampir saja kutapaki dengan membabi buta dan menghalalkan segala cara. Tapi bebarengan dengan momen sesakral tujuhbelasan, telah kutelan semua rasa cinta, kagum, sedih, kecewa dan berharap semuanya akan menjadi sampah dan berakhir di tempat dimana kotoran seharusnya berada. Mungkin ini telat untuk di ungkapkan. Tapi aku menyukai momen di mana aku merasa teriris hanya karena melihat sebuah nama bersanding dengan kekasihnya. Aku menyukai momen di mana Ari ada dan datang di saat yang tepat dan tak terduga. Bukan datang, tapi aku yang meminta lebih tepatnya. Tuhan membuatku menyadari tujuan-Nya setelah dua tahun berlalu. Ari bukanlah sebuah kebetulan yang menjadi nyata. Hari dimana aku memintanya untuk menemani duniaku adalah insting pertama yang berhasil kuraba untuk mengobati patah hati yang akan datang beberapa hari ke depan. Bahkan aku sudah bisa lebih peka dengan tidak secara sengaja menyentuh pintu instingku. Tapi ternyata tidaklah segampang itu, dibutuhkan angka dua yang utuh untuk menyadari bahwa keberadaan Ari bukanlah penambal dinding hatiku yang koyak. Ari tidak berfungsi dan tidak di desain untuk seperti itu. Ari adalah setebal namanya. Menjadikanku memilih di antara dua. Membiarkanku menjadi godam yang kelak menghancurkan kerasku sendiri. Ari dengan cara uniknya menunjukkan bahwa ia berharga. Dan aku menyukai itu.
.
.
.
Tiga, dan akan ada empat, lima, tujuh, dan seterusnya. Bersama Ari membuatku kembali berani menarikan lidah dan mengucap kata-kata berpemanis lebih. Sekalipun ia dan bahkan aku adalah makhluk fana, tapi dalam kesemuan yang membingungkan ini, aku ingin menjadi sebuah pasti bagi langkah-langkah Ari. Sebuah pasti yang di harapkan bisa menghentikan langkah ragu dan gundahnya. Aku ingin menjadi jawaban untuk Ari. Bagi semua pertanyaan yang terus membelit di sepanjang perjalanan hidupnya. Namun jika semua itu terlalu muluk dan berat untuk terlaksanakan, maka sebuah harapan tersingkat adalah keinginanku untuk membuatnya bahagia sekalipun aku tak memberikannya apa-apa. Aku telah menyerah untuk menjadi diriku yang sekeras batu. Aku ingin terus kembali melunakkan diri agar bisa setidaknya menyamai kelenturan Ari. Agar ketika raga kami berpelukan, tak ada sesuatu apapun lagi yang menghalangi dan mengganjal.
.
.
Hari jadi kami yang kedua bergulir begitu saja tanpa terucap banyak keinginan muluk. Merayakan tidak ada dalam daftar pernikahan kami sepertinya. Dua makhluk kaku yang tak pernah tahu bagaimana cara menghormati sebuah tanggal. Dan kado dariku selamanya tak akan berubah menjadi sesuatu yang layak di makan. Karena memang aku tak pernah memberi apa-apa. Dan hanya kata. Pengakuan bahwa aku telah bahagia. Pengakuan bahwa aku telah berhenti menganggap kedatangan Ari adalah sebuah kebetulan yang tidak di sengaja. Pengakuan bahwa aku merasa telah dalam separo jalan mengikis diri. Pengakuan bahwa aku tak lagi menginginkan apapun hal di dunia kecuali bersama dan melihat keluarga kami bahagia. Pengakuan bahwa mungkin, keluarga kami telah dalam separo tangga jalan menuju keluarga terharmonis sedunia.
.
Apalagi yang perlu kucari lagi setelah ini ? Ari memuat segala syarat untuk menuju bahagia. Dan dia adalah milikku. Hanya milikku.

1 komentar: