Selasa, 11 Juli 2017

Paragraf Manis

Hari-hari terakhir masa jabatku di dunia terlewati dengan sangat manis dan menggigit. Melalui jari-jemari dengan kulit yang kian mengeriut ini, aku telah melukis banyak cerita. Bersama nama yang menua dan memikun bersama. Sebuah nama yang 50 tahun lalu pernah dan tak hanya sekali kuragukan perasaan juga besar cintanya. Sebuah nama yang rela bertahan pada satu jalan cerita dengan begitu telatennya.
.
Aku tak pernah menyangka jika hari ini akhirnya datang juga. Masa di mana aku akan rela menyembah syukur kepada Sang Pencipta untuk sebuah akhir yang datang menjemput. Bukan secara tiba-tiba, tapi dengan sukarela. Ya. Apalagi yang perlu kutawar dan kuminta dari Sang Pencipta ? Ketika Ia telah memberiku dunia penuh bahagia. Ketika Ia telah dengan sangat berbaik hati menyandingkanku dengan lelaki yang begitu telaten menuntunku, dengan lelaki yang begitu sabar menjemputku pada kedewasaan. Lelaki yang sekarang tengah terlelap di atas ranjang kebesarannya dengan taburan buku di pangkuan. Aku sama sekali tak menyangka, jika ternyata kebiasaanku membawa buku di atas ranjang akan menularinya. Tapi aku sangat berbahagia untuk kebiasaannya yang satu itu. Lelakiku terlihat begitu tampan dan manis ketika tengah berkutat dengan bacaannya. Sekalipun dengan uban yang memenuhi hampir seluruh batok kepala, dan juga gelambir-gelambir di wajahnya. Sama sekali tak mengurangi ketampanan yang di milikinya. Jangan bertanya berapa usia kami sekarang, dengarlah keluar, celoteh anak kecil begitu rame terdengar. Itu cucu-cucuku. Penerus kami.
.
.
Bukankah kami pasangan yang begitu sempurna ? Aku adalah seorang penulis, dan tetap demikian hingga umurku yang kesekian dan dengan rambut penuh uban. Lelakiku adalah pembaca yang baik dan setia. Dia adalah yang pertama, dan selalu, yang membaca dan mengetahui apa yang kiranya akan ku bagi kepada para pembacaku yang selalu menanti. Dia adalah editor pribadi, yang akan menyaring dan memilah apapun untuk memilik kelayakan edar. Bukankah kami pasangan yang sempurna ? Di usia kami yang sudah menginjak senja, kami tetap mesra dalam menelurkan banyak karya. Lalu apalagi yang perlu kuminta ? Bahkan jika kontrak hidupku di dunia berakhir hari ini pun aku bersedia. Lelakiku tak pernah suka jika aku mulai berkata tentang perpisahan. Terlebih yang menyangkut perbedaan dunia. Seakan ia tak pernah rela jika aku atau dia harus terpisah sementara oleh helaan napas. Seakan detak nadi akan memutus pula rasa kasihku jika ternyata ia harus berhenti berdetak. Satu yang terus kurutuki dan kumaki keberadaannya, adalah kenyataan bahwa ia terlalu mencintaiku lebih dari sewajarnya. Apa ini terdengar berlebihan ? Semoga saja tidak, karena memang aku menulis apa yang pernah kutapaki dan kurasakan.
.
.
Dulu, dulu sekali, entah pada putaran umur yang keberapa, aku hanya mengingat kilas kejadian dan bukan waktunya. Masa-masa terberat dalam pernikahan kami. Tak pernah ada pertengkaran yang terjadi, karena memang aku yang selalu memulai dan terus berusaha memprovokasi. Saat itu aku masih berpikir seperti anak dengan umur 6 tahun, yang akan takut jika miliknya di minati orang lain, yang akan takut jika harus berbagi dengan orang lain. Aku terlalu kekanakan dalam memaknai kata cinta dan pernikahan. Aku terlalu kekanakan dalam menyikapi semuanya, tanpa sadar jika justru ketakutan dan rasa mengekangku yang akan merenggangkan hampir memutus segalanya. Satu-satunya yang terbaik yang pernah kuterima adalah rasa sabar yang dimiliki oleh lelakiku. Hari-hari manis dan indah yang kunikmati pada masa berubanku adalah buah tangan terbaik yang pernah di berikan olehnya. Aku tidak ingin berandai-andai, karena itu hanya akan mengotori paragraf manisku kali ini. Aku hanya tak pernah bisa berhenti mengucap syukur karena telah bersanding dengannya, menemani dalam suka dukanya. Sesekali pula aku bersyukur karena pada masanya dulu, aku pernah patah hati pada sebuah nama. Nama yang telah melegenda pada banyak judul di dalam rumah kesayanganku ini.
.
Benar jika ada yang berkata, masa tua adalah masa untuk berbahagia dan berdoa. Karena telah kuhabiskan hampir separuh hidupku untuk keduanya, berbahagia bersamanya juga keturunan kami, dan berdoa untuk kelenturan cinta yang sanggup menelusuri hati anak-anak kami. Aku tidak ingin anak-anakku menuruni kepala batuku, aku tidak ingin mereka telat menyadari limpahan kasih dari pasangan masing-masing, sama sepertiku. Hampir seperenam perjalanan hidupku terbuang sia-sia, hanya untuk mengekori rasa kecewa, rasa sedih dan curiga. Aku membuang waktuku yang berharga. Sesuatu yang dulu sangat eksis dalam paragraf panjangku.
.
.
.
Gelap tetaplah teman, bahkan hingga umur senjaku menjelang. Ceritaku tak akan berakhir di sini, hari ini. Anak-anakku akan membaca dan menelusuri semua yang pernah tertuang di dalamnya. Dan ketika hari itu tiba. Satu yang pasti, aku tak ingin mereka mengutukku karena pernah hampir menyia-nyiakan pasangan hidup sesempurna ayah mereka. Itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar