Rabu, 26 Juli 2017

Dewa Kucing Dan Cacatnya

Aku adalah salah satu makhluk dengan cacat terbanyak di muka bumi ini. Jika manusia lain hidup dengan bertopang pada udara dan kinerja jantung juga paru-parunya, maka aku lain. Insting adalah penunjuk arah, langkah dan juga cara bernapasku. Orang lain akan melihat bahwa aku adalah manusia dengan senyum terpelit di dunia. Padahal tidak. Aku tidak pelit, hanya tidak bisa. Memiliki kemauan tapi tak bisa melakukannya.
.
Raut wajah adalah area yang sangat nyata untuk melihat suasana hati. Dan wajahku tak pernah lebih bisa menyembunyikan apapun yang insting bisikkan padaku. Ini adalah pernyataan lamaku, tapi kebenarannya tidak pernah kuragukan. Detik pertama aku melihat mata seseorang, aku akan bisa membaca akankah selanjutnya seseorang itu akan membawa dampak buruk atau baik. Aku membaca gelagat hanya dari tarian tangannya. Aku menangkap sinyal hanya dari lengkungan bibirnya. Dan mata, adalah sudut terfavoritku. Tak ada yang bisa menyembunyikan apapun disana, dariku.
.
Aku mungkin saja normal, seperti kalian, seperti manusia kebanyakan. Tapi cacatku membuat pengecualian. Aku memang berbeda. Bola mata, insting dan raut wajahku seketika akan bekerja sama dengan tingkat ketelitian yang super detail ketika mulai berhadapan dengan seseorang. Dan ketika sinyal mulai mengirim tanda negatif, maka disinilah pertaruhan di mulai. Cacatku mulai menunjukkan diri. Aku tidak ingin bereaksi, sama sekali tidak ingin menggubris apa yang insting mulai bisikkan padaku. Bukankah kita tidak bisa dengan begitu cepat mengambil keputusan untuk menilai seseorang hanya dari tatapan pertamanya ? Jatuh cinta pada pandangan pertama sering kudengar, tapi membenci pada pandangan pertama adalah sesuatu yang tak kusukai yang sialnya justru sering kualami. Cacat terbesarku selalu muncul secara tiba-tiba. Aku tak pernah bisa berpura-pura. Ketika insting mulai membisikkan tanda kurang baik, seketika wajahku akan bereaksi. Menarik keras otot-otot senyum di bibir. Bahkan otakpun akan terkena imbasnya dengan mulai melancarkan perkataan-perkataan dingin nan sarkastik. Aku membenci sisi cacat diriku. Aku kewalahan untuk menerapkan pada diri sendiri pernyataan bahwa manusia tak boleh menilai sebuah buku hanya dari sampulnya.
.
.
Seringnya, aku hanya bisa memaki diri sendiri. Memaki kenapa tak bisa berpura-pura. Menyembunyikan sedikit saja rasa tak suka dan menukarnya dengan seulas senyum. Aku menderita, karena bisikan-bisikan dari dalamku yang tak pernah mau menyumpal mulutnya.
.
Satu kenyataan yang tak bisa untuk kupungkiri hingga saat ini adalah, kenyataan bahwa instingku selalu membisikkan petunjuk-petunjuk yang hampir selalu benar. Ragaku seakan tidak di desain untuk kecewa. Karena ketika pandangan pertamanya saja berhasil mengirim tanda, petunjuk agar aku mempersiapkan diri selanjutnya.
.
.
Terkadang aku mulai berpikir, apa asyiknya hidup ini tanpa misteri ? Tidak semua manusia memiliki niat baik di dalam hatinya. Lalu kenapa ? Kenapa aku harus terburu-buru untuk tidak menyukai seseorang ? Dan kenapa pula aku harus terlahir dengan cacat besar di gendongan ?
.
Orang akan berpikir aku masuk dalam jajaran manusia-manusia normal. Padahal tidak. Selalu ada percakapan dan pertikaian di dalam kepalaku. Jika memungkinkan, bahkan bisa kupastikan ada sesuatu yang tengah berperang pula di dalamnya. Dan jika ternyata keinginan menjadi normal adalah hal sia-sia, maka keinginanku selanjutnya hanyalah satu. Aku ingin bisa berpura-pura. Dengan senyum dan mata berbinar yang tak pernah meninggalkan wajah. Aku ingin bisa berpura-pura. Dengan jalan terus mengabaikan apa yang insting selalu bisikkan padaku. Tak peduli kenyataan bahwa apa yang selalu ia tunjukkan adalah sebuah kebenaran. Karena aku bosan di cap sebagai pemurung, dan pemarah. Meski telah kusiasati dengan melaksanakan sebuah jurus jitu yakni menjadi pendiam, tetap saja tak ada yang bisa menutupi perasaan apapun pada reaksi raut wajah. Akankah ini keinginan normal ? Kenapa kata normal mendadak menjadi ambigu setelah catatan ini hampir menyentuh akhir ? Wajarkah jika aku mulai berkata bahwa aku adalah manusia separo dewa ? Bukankah dewa tak memiliki kepintaran untuk menyembunyikan kenyataan ? Lalu bagaimana jika ternyata aku ini manusia separo kucing, karena setelah kuingat-ingat, kucingpun hampir memiliki kemiripan yang sama dengan cacat besarku. Ia akan menatap bengis pada apapun yang kiranya ingin mengacau harinya. Ia akan berlari dalam pelukan begitu sang majikan menebar aura positif dan menyenangkan. Insting kah yang menuntun hidupnya ? Atau sesuatu yang lain ? Aku harap kali ini aku memiliki cukup kewarasan untuk mengakhiri paragraf ini. Termasuk ketika harus mengakui bahwa ada kemungkinan aku adalah manusia dengan darah separo dewa kucing yang pada masanya dulu memiliki kemampuan untuk meraba dan melihat aura. Ouh..pernyataan yang terlalu mengerikan sepertinya. Tapi aku menyukai pemikiran tentang kemungkinan itu. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar