Minggu, 23 Juli 2017

Kipas Angin Tanpa Baling

Kita bukan lagi sebuah kawanan. Yang berkerumun dan berkelana mencari makan. Kita bukan lagi dua orang teman. Yang saling mengganggu dan bertukar pikiran. Dulu kita pernah saling memimpikan untuk mendiami rumah yang sama, melahapi putaran jarum jam dengan aktivitas yang sama pula. Tak apa, karena memang sejalan bukan berati harus terus bergandengan.
.
Mata adalah penyebab dari semuanya. Jika milikku melihat jalanan kita adalah semak belukar, maka matanya justru menangkap bahwa itu adalah aspal mulus tanpa sedikitpun hambatan. Bola kecil putih dengan lingkaran hitam di dalamnya tak sanggup untuk saling bergandengan. Untuk itulah kenapa jarak ini harus ada.
Tapi tak apa, bukankah bersama tidak harus selalu selamanya ?
.
Mesra adalah salah satu kata yang sangat tepat untuk menggambarkan betapa lekatnya kedekatan kita. Tak ada satupun borok milikmu yang tak kuketahui dan kutertawakan tanpa adanya ampunan. Begitupun sebaliknya. Tapi kini, engkau lebih memilih untuk selangkah lebih erat pada pelukan sunyi. Sementara aku telah mendapatkan pengganti. Siapa yang salah ? Tak ada. Dan memang sekali lagi, tak apa. Jalan hidup seseorang tak ada yang akan tahu, seberapa kuatpun kita pernah saling terikat, akan ada saat dimana semuanya terasa lengang dan menghambar. Tak terkecuali untuk hubungan kita ini.
.
Kalimat-kalimat yang kutulis malam ini, tak pernah berarti apa-apa, hingga rasa itu kemudian datang. Tak apa kawan, tak apa jika kita tak lagi harus sejalan. Tak apa jika kita tak lagi bisa bergandengan tangan. Teruslah berjalan seperti jarum jam yang tak rusak. Teruslah berputar seperti kipas angin yang tak rusak. Ada satu kalimat yang perlu ku ralat pada paragraf di atas. Aku tidak tengah dalam keadaan telah menemukan pengganti. Ariku tidak berfungsi seperti itu, karena memang..seperti kaus kaki, Ari adalah kaus kaki untuk kaki kiri, yang memang di tempatkan di sana dan bertugas menghangatkan daerah kiri. Dan engkau tak lain adalah kaus kaki untuk sebelah kanan. Tak ada yang salah bukan ? Kerenggangan kita jelas meninggalkan lubang. Aku bisa saja memindah kaus kaki sebelah kiri untuk menghangatkan kaki kananku, tak ada yang tak akan tahu, tapi bukankah kenyamanan tak bisa di manipulasi dan di paksakan ? Tak apa jika aku harus melanjutkan hidup dengan hanya satu kaus kaki. Tak apa, selama kepergianmu adalah demi menemukan kaki yang tengah kedinginan. Tak apa, selama kepergianmu bukan dalam rangka menuju kesunyian yang lebih pekat. Karena seperti yang dulu pernah kukatakan selagi kita masih mesra. Bahwa bahagiamu adalah milikku juga.
.
Rumah itu tak pernah ada, bahkan ketika kini aku telah memiliki segudang uang untuk membangunnya. Rumah impian, dimana kita akan selalu bersama, menempatkan meja dan sofa pun bersama, bahkan membersihkan remah pecahan piring pun akan sama-sama juga. Rumah itu tak pernah ada bahkan ketika engkau memiliki sepetak luas tanah yang lebih dari cukup untuk menjadi alas bagi rumah impian kita. Karena memang tak ada satupun mata manusia yang tercipta sama dengan manusia yang lain. Tak peduli semirip apapun mereka, akan ada celah yang membedakan, yang memisahkan.
.
.
.
Tak apa kawan, jika kita bukan lagi sebuah kawanan. Bukankah makanan kita tetap sama ? Dan lihatlah, ada ribuan petak ladang di sepanjang mata kita memandang. Mungkin, suatu hari nanti. Mungkin, entah di petak ladang yang mana, kita akan kembali di pertemukan. Kita akan kembali bisa berjalan bersisian. Dan saat hari itu datang, mungkin tak akan ada lagi kemesraan sehangat yang dulu pernah kita ciptakan. Tak ada lagi rumah impian. Tapi mungkin akan ada bara lain yang akan saling kembali menghangatkan. Membakar bongkahan es yang terlanjur memalung semenjak hari kerenggangan kita.
.
Teruslah berjalan kawan. Seperti jarum jam yang tak rusak. Sekalipun tak pernah ada kata selamat tinggal yang kita ucapkan, jangan bersedih untuk alasan di balik itu. Karena memang, sejalan tak berati harus selalu bergandengan. Berhenti terus mempererat dekapanmu kepada sunyi. Karena itu hanya akan memperlambat waktu kembalinya kita untuk saling bertemu di ladang entah mana. Kenapa aku begitu percaya diri dengan mengatakan bahwa kita akan saling bertemu ? Karena kita pernah terikat. Karena keberadaanmu pernah menghangatkan salah satu bagian tubuhku. Karena rasa nyaman itu pernah ada. Untuk itu janganlah terlalu erat dalam memeluk sunyi yang kian memekat. Lihat aku, sangat jelas mataku memendam lubang. Jejak hilang yang kau tinggalkan karena kerenggangan. Tapi aku tak pernah beralih dan bermuram lalu membabi buta mengarahkan pedang. Ari bukanlah alasan kawan. Ari bukanlah satu-satunya yang bersalah. Waktu telah mengatur dirinya sedemikian rupa. Lihatlah aku, tentu saja aku merasakan kehilangan. Tanpamu, aku seperti kipas angin yang kehilangan baling-baling. Tapi ketahuilah, bahagia tak datang hanya dari satu arah saja. Dan aku tak pernah pergi kemana-mana. Pesanku kali ini kawan. Berhenti mencari maka kau akan menemukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar