Rabu, 12 Juli 2017

Baret Dan Lebam

Tiga, mungkin empat, atau malah kita memang tidak pernah saling bertegur sapa ? Tapi baret dan luka itu terlihat nyata. Atau memang lagi-lagi aku mengalami sindrom yang bernama jatuh cinta sendiri ?
Yang aku tahu hari-hari bersamamu terlewati dengan begitu indahnya. Namamu tidak terlalu sulit untuk di sandingkan dengan cinta, karena memang kenyamanan yang kau tawarkan sebanding dengan seceruk sumber air di gurun sahara. Aku tidak tahu pastinya, gurun sahara itu memang eksis dalam peta dunia atau hanya ada dalam dongeng saja. Tapi tetap saja, namamu akan terlalu tinggi jika di paksa di pajang diujung hati. Namamu selalu di rindukan, begitu juga dengan kenakalan-kenakalanmu yang kadang berada di luar nalar. Kenapa aku bisa terjebak dalam permainan menyakitkanmu ? Ini bukan kiasan, aku memang merasakan sakit yang nyata ketika harus berada di dekatmu. Baret, memar adalah hal lumrah yang entah kenapa justru terasa lucu dan menggemaskan. Lagi-lagi aku curiga tengah menderita sindrom jatuh cinta sendiri. Bahayakah ? Tidak, karena hatiku sudah terlatih patah hati. Dan bukan hanya sekali aku pernah melewati masa-masa ini. Karena si cicak, si zebra, si tinta pernah berada di dalamnya.
.
.
Dear si pemilik nama pada abjad kedua, bersamamu membangkitkan lagi jiwa patriot yang selalu tumbuh dalam jiwa manusia-manusia terlalu muda. Aku tertawa. Aku melupakan dunia. Aku sakit. Aku terluka. Dan aku bahagia. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, namamu tak akan terlalu sulit untuk bersanding dengan cinta, terlebih rindu, karena jujur saja kepalaku masih memutar ingatan tentang bagaimana baret dan semua lebam itu tercipta. Aku merindukan masa dimana aku bisa melupakan dunia, lalu menangis dan kemudian tertawa. Paket komplit yang jarang di suguhkan oleh siapapun nama di dunia. Hanya rindu saja, karena aku tidak bisa membayangkan lebih tentang apa yang akan terjadi jika memang benar-benar ada cinta di antara kita. Dua manusia dengan kenakalan di ambang batas, yang memiliki hobi sama yakni menggoreskan baret dan lebam di tubuh manusia. Dan cinta ? Siapa dia ?
.
.
Aku tidak pernah tahu jika namamu akan sesulit ini untuk ku bahasakan. Lihat ? Aku tak menghasilkan apa-apa selain paragraf konyol ini. Tujuh, hampir tujuh mungkin, namamu hilir mudik dalam padatnya lalu lintas kepalaku dalam jangkauan tahun tersebut. Tidak layakkah jika kerinduanku di golongkan pada nama cinta ? Tapi untuk apa ? Di jadikan pajangan, bahwa aku si konyol ini ternyata memiliki nama idaman untuk yang kesekian ? Hubungan ini telah lama berakhir sebenarnya. Sama sekali murni berakhir tanpa terselip nama cinta yang terbawa ke masa mendatang. Tapi aku tak bisa berhenti untuk ingin mengetahui, siapa sebenarnya si pemenang itu, sudah adakah ? Atau mungkin kau homo ? Jenis seperti apakah yang berhasil menaklukkan makhluk sepertimu ? Berapa beruntungnya ia, atau mungkin kesialan baginya ? Karena mendapatkan makhluk sepertimu ?
.
Tenang kawan. Sekalipun kita tak pernah lagi saling bicara. Sekalipun bahasa terakrab yang pernah mengikat kita hanyalah baret dan lebam menggemaskan itu, aku mengerti siapa dirimu. Aku pernah terpesona dan hampir ingin membuntuti kehidupan pribadimu. Apa aku terdeteksi tengah jatuh cinta ? Hampir dan itu semua sudah berlalu bukan ?
.
Namamu tak pernah cocok untuk di sandingkan dengan kata suami idaman. Tapi percayalah, namamu akan sangat tepat jika disandingkan dengan kata sahabat. Aku bahkan akan rela jika harus menukar semua temanku demi seorang kau untuk menemani di sepanjang masa tuaku. Tak apa jika harus kudapati lagi baret dan lebam menggemaskan itu, keduanya tak akan sebanding jika harus kutukar dengan kenikmatan akan kenyataan bahwa aku bisa melupakan dunia di masa-masa senja yang erat dengan kepasrahan. Denganmu kutemukan semangat hidup yang terus menggebu dan meminta peluapan. Enam, atau mungkin tujuh. Berapa lama sebenarnya kita telah terpisah ? Kenapa baret itu masih begitu nyata ? Aku mungkin gila, atau mungkin salah satu kenakalanmu di masa lalu telah melengserkan sedikit kewarasanku. Kenyamanan bukankah sesuatu yang tak bisa di buat dan di paksa ? Dan kenyataan bahwa namamu dan namaku pernah menjadi selengket bekas permen karet yang menempel di antara semak rambut, sedikit membuatku tercengang. Kenapa kita hanya harus bertemu dalam waktu yang berkurun sedikit itu ? Kenapa kita harus menemui kata perpisahan ? Bukankah kata satu itu tak layak bersanding dengan manusia yang sanggup melupakan apa itu dunia ? Tak apa, sama sekali tak apa jika hitungan itu hanya sampai pada angka tujuh atau enam. Karena pada kenyataannya. Kita hidup dalam memori masing-masing bak memori usang selama bertahun-tahun setelahnya. Apa aku terlalu percaya diri dengan mengatakan bayanganku pun masih hidup dalam kepalamu sampai sekarang ? Bukankah sudah kukatakan bahwa aku mengenalmu ? Aku melihatmu, dan membaca matamu. Jika baret dan lebam saja tak sungkan untuk kau toreh di atas tubuhku, kenapa tidak dengan cerita tentang siapa dirimu. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar