Jumat, 14 Juli 2017

Melepas Jabatan

Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk bertemu dan berbicara. Setelah sekian lama, setelah sekian banyak luka menganga, masihkah engkau bernafsu untuk menjabat tanganku lagi ? Masihkah aku semenggiurkan itu untuk kau rangkul ?
.
Aku bahkan tak tahu harus memanggilmu sebagai apa, dan memperlakukanmu sebagai siapa. Keberadaanmu tak pernah lebih jauh dari selebaran jengkalan tangan. Mengikuti seperti bayangan hitam. Dan seperti juga ia, maka kita pun terkadang menyatu ketika terik tepat berada di atas kepala. Engkau sama sekali tak terlihat, atau justru aku yang menghilang, tak lagi jelas semua hanyalah samar.
.
Kali pertama aku mengenalimu, kukira engkau adalah sesosok kawan. Karena memang semua yang membuatku merasa nyaman, telah berhasil engkau menangkan. Lalu kemudian aku menyadari bahwa sosokmu tak lebih dari sebongkah bara yang terkadang berubah ujud menjadi monster mengerikan. Aku memelihara satu monster di dalam raga, dan hingga kini aku masih sering linglung untuk membedakan yang mana ucapanku dan yang mana aumannya.
.
Tidak hanya sekali aku melukai, bahkan tidak hanya Ari, semua yang pernah beririsan denganku bisa dipastikan akan merasakan seperti apa bara panas yang ku luapkan. Dua puluhlima tahun, atau mungkin lebih. Dan ini adalah kali pertama aku merasa kewalahan. Aku kalah untuk bisa menjadi pemegang tali kekang monster yang kupelihara sendiri. Aku tak hanya melukai, tapi juga mulai menyakiti. Mangsaku tak mengenal batas. Dan seringnya aku hanya bisa meringis ketika cakaranku tepat mengenai raga orang yang ku sayang.
.
Orang akan dan selalu mengira bahwa aku sempurna. Aku memegang jiwa yang di puja juga di puji oleh kebanyakan manusia. Setiap tuturku menjadi lilin bagi mereka yang merasa tengah berada dalam jalan penuh kegelapan. Mereka tidak tahu, bahwa aku sebenarnya bukanlah keturunan dewa. Aku tidak memiliki kecakapan apapun untuk bisa di sebut sebagai keturunannya. Sekalipun memang, aku selalu menjunjung Ayahku setara dengannya. Tapi, memang siapa yang tidak mengerti tentang garis miring pada nama Ayahku ?
.
Sekian lama, dan aku semakin merasa ragaku akan menjadi dua bagian yang terpisah dan berbeda. Aku menangis di saat tandukku mulai menggoresi siapapun yang berada di sekitaranku. Aku mulai berputus asa ketika cakarku mulai mengenai tak hanya raga tapi juga hati para nama-nama yang ku puja dan ku cinta.
.
.
Hari ini, kesabaranku telah menyentuh garis akhir. Hari ini, kesadaranku mulai menguap dan mengerjapkan mata. Tak seharusnya kupasrahkan tali kekang pada makhluk peliharaanku sendiri. Engkau tak seharusnya menapaki garis batas dan mengetes lebih kesabaranku. Aku telah berputus asa, karena terlalu lama membiarkan diri ini menelan kecewa, karena terlalu lama membiarkan diri ini berprasangka. Aku telah berputus asa, karena hampir saja atau mungkin telah dalam separo jalan membuat Ari terluka dan memaksanya harus memilih di antara dua. Andai bisa kubicarakan ini dengan gamblang. Bahwa selalu ada satu masa dimana aku akan merasa malu akan semua yang pernah kulakukan dan kuucapkan. Andai bisa ku jelaskan bahwa aku tak ingin membusuk bersama makhluk peliharaanku yang sialnya terlalu enggan untuk menjauhi raga ini. Dan kepada sebuah nama yang mendasari pernyataan ini tercipta. Ia menjadi perantara dan menjadi pintu bagi kedatanganku. Kata maaf mungkin tak akan berarti apa-apa, aku hanya ingin ia mengerti dengan siapa ia tengah berdiri, dan siapa pula yang telah ia ciptakan dari separo darah dan nyawanya.
.
.
.
Engkau telah melihat semuanya bukan ? Aku telah menjadi apa yang selama ini kau ingini, aku mengeraskan tak hanya kepala tapi juga hatiku, aku berprasangka, aku mulai menimbang demi bisa menemukan adanya ketimpangan, aku menekan kuat-kuat hulu retina agar tak menjatuhkan air beningnya, aku kecewa, dan aku selalu mengakui diri sebagai keturunan dewa. Apalagi yang perlu kujelaskan sekarang ? Namaku telah hancur dalam 5000 karakter kali ini. Tak ada si bijak yang akan menyalakan lilin ajaibnya. Tak ada si ceria yang tak pernah merasakan ketidak bahagiaan. Engkau puas sekarang ? Jadi kali ini, di kesempatan yang sesejuk ini, mari kita berjabat tangan. Jangan seperti pengecut yang akan selalu berdiri di belakang dan membuntutiku, memanfaatkan terik matahari untuk menyembunyikan diri atau justru membuatku menghilang. Jangan menjadi pengecut sayang, pandanglah diriku dan lihat betapa keputus asaan telah melenyapkan semuanya dari wajahku. Senyumku terasa menghambar, hanya karena air mata yang terlalu lama menggenang permukaan. Jadi sayang, bisakah kita saling melepaskan ? Aku lelah mengasuh sekaligus menjadi pengikutmu. Aku lelah mencari pemenangan yang seharusnya memang tak ada.
.
Ketika Hara besar nanti, aku ingin ia mengerti dan memahami bahwa Ibuny bukan sosok yang tepat untuk di idolai, aku merasa cacat untuk separo ragaku yang di tali kekang oleh musuhku. Musuh yang dulu ku anggap sebagai kawan, dan pernah pula kuangkat ia sebagai makhluk peliharaan yang ku elu dan ku sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar