Rabu, 14 November 2018

Memotong Akar

Aku menghapal jalan menuju ke sana semudah menarik napas. Aku mengingat semua jalanan itu, kemana harus berbelok atau kapan harus berhenti sejenak, aku bahkan bisa melakukannya tanpa harus membuka mata.

Sebuah tempat yang pernah sekian tahun menyekapku. Sebuah hunian tak berujud yang pernah ku sebut sebagai rumah.

Dalam satu titik waktu tertentu aku berhenti menyebutnya sebagai rumah, aku lari, dan tak pernah berpaling untuk melihatnya meski hanya sekedipan mata. Duniaku berputar secepat angin puyuh, yang kemarin sempat ku patenkan sebagai surga ternyata hanya tempat singgah untuk duduk sementara, dan sekalipun bergerak adalah sesuatu yang sangat sulit untuk ku lakukan, tapi aku selalu menaruh hati di setiap persinggahan, tak peduli jika itu untuk sementara ataupun selamanya. Termasuk kepada seonggok nyawa yang ku sebut rumah tadi, jika aku tidak linglung, empat tahun aku telah mendiaminya. Bukan waktu yang sebentar, kendati waktu pelarianku yang sekarang hampir tiga kali lipat lamanya, tapi aku masih bisa mengingat dengan jelas semua perkakas yang ku punya di sana. Dimana biasanya aku menaruh penat, dimana biasanya aku menaruh sedih, bahkan aku masih bisa dengan detail menjelaskan di mana sudut yang menjadi tempat favoritku untuk bercinta. Waktu memang tidak bisa di gunakan untuk menjadi tolak ukur sebuah keindahan. Dan empat tahunku di sana harus di akui tidak hanya berkesan tapi juga penuh kejutan mengagumkan. Rumah yang sekian tahun belakangan secara mati-matian ku tolak pesona eksistensinya, yang secara mati-matian ku hindari agar bayangannya tidak timbul ke permukaan. Rumah yang ku tinggal lari di saat hati ini tengah dalam masa klimaksnya dalam bercinta.

Kenapa aku lari? Masih menjadi pertanyaan tunggal hingga sekarang. Kenapa aku lari? Sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak memiliki secuil kata untuk di jadikan jawaban.

Di sana, aku terbiasa menjadi lampu, penerang bagi semua nama yang sudi untuk mampir dan mengetuk pintu. Di sana, aku terbiasa menjadi petromak, yang siap menghadapi kegelapan demi secercah cahaya di pangkuan tangan lain. Aku bahkan siap untuk menjadi kaum lapar, hanya agar mejaku selalu siap menyediakan makanan bagi siapapun yang tengah berada di ujung gersang. Aku segila itu dalam mengorbankan. Hingga kemudian hari itu datang, saat di mana akhirnya aku menanggalkan semua benang di badan dan juga topeng yang selalu ku kenakan. Aku menginginkan sebuah perasaan ketika bertelanjang. Jika memungkinkan, aku ingin menjadikan kalimat itu sebagai jawaban atas pelarian mendadakku saat itu. Aku mencintai rumah itu, ya tentu saja, siapa yang tidak akan tergoda untuk jatuh cinta pada tempat semenakjubkan itu? Dan sekali lagi ku jelaskan, aku adalah jenis manusia yang selalu malas untuk bergerak-berpindah, tapi ketika aku melakukannya aku akan menaruh hati di setiap tempat yang ku diami. Hatiku terpasung di sana selama entah berapa lama, bahkan mungkin hingga hari ini. Hatiku telah menemukan kepingan pasnya namun dalam ujud tanpa nyawa dan juga kasat mata. Aku ingin terlihat seperti manusia normal, untuk itu jugalah mungkin hari itu aku lari tunggang langgang dari surga sementara ciptaanku.

Waktu berputar secepat angin puyuh, dan hari ini aku kembali ke sana, bukan untuk pulang atau memunguti barang milikku yang tertinggal, tidak juga untuk menyapa tetangga lama yang sempat ku angkat menjadi saudara. Aku kembali kesana hanya untuk menyelesaikan sebuah urusan, kata perpisahan yang dulu tak sempat ku ucapkan. Membagikan sejumput penjelasan kepada mereka yang hingga hari ini masih bertanya ataupun mempertanyakan.

Aku menyapa mesra rumah lama itu, meski tanpa pelukan atau senyum kebahagiaan. Tawaku pecah dalam hening, betapa sebenarnya selama ini nyawaku masih tersimpan rapat di salah satu ruang di sana. Ruang yang tak seorangpun tahu ataupun mencurigai keberadaannya. Tempat itu masih sama seperti yang bisa ku ingat saat terakhir kali meninggalkannya. Namun aku menemui kejanggalan, aroma yang menyentuh pangkal hidungku tidak lagi dapat ku kenali, bahkan seutas tali pembuat sarang labah-labah yang membentang di antara kursi berlengan yang hendak ku duduki pun memiliki rasa hambar ketika menempel kulit milikku. Bangunan itu masih tidak berubah, tapi bukan rumah yang sama yang dulu menyekapku dengan nyaman, dengan segala mimpi menakjubkan di kandungannya. Bangunan itu tidak berubah, kokoh, bahkan semakin indah di bagian luarnya, tapi memasukinya justru terasa seperti maling, aku bahkan sempat ragu sebelum melangkahkan kaki di ambang pintu, haruskah aku mengetuknya terlebih dahulu atau mengucapkan salam sebagai tanda kedatangan? Namun tak ku lakukan keduanya, karena bahkan sebuah nama dalam pahatan sepotong kayu masih terpasang nyaman di tempatnya, namaku.

Jika bukan karena harus menyelesaikan urusan yang ku anggap terakhir ini, aku pasti akan merasa enggan untuk memasuki bahkan menelusuri setiap dinding ruang. Aku takut jatuh cinta lagi, aku takut imanku tidak terlalu kuat untuk menahan serangan segerombolan kenangan masa lalu yang tanpa aba-aba muncul di depan mata, aku takut masih selemah hari itu. Hingga kemudian hati ini memanggil pemiliknya. Ia yang sekian waktu tersekap dalam ruang tergelap rumah itu, memberikan sinyal untuk ku tangkap, memberikan pertanda bahwa dirinya telah menunggu hari ini tiba, hari keberanianku untuk mengakui dan menjemputnya. Waktu milikku yang selalu berputar secepat angin puyuh mendadak kehilangan minat pada kekuatannya. Ia manut pada perasaanku, gempita yang perlahan menyebar seperti  percik kembang api menghadirkan gerak slow motion bagi apapun yang di lewatinya, tak terkecuali waktu.

Bagaimana ini bisa? Aku yang sekian tahun lamanya begitu kukuh memungkiri perasaan yang sebenarnya masih ada, meyakinkan semua nama bahwa aku telah dengan rela menanggalkan masa-masa bercahaya itu, meyakinkan diri sendiri bahwa sesuatu tengah menanti dekapanku di depan sana dan membakar semua benda usang hasil percintaan di masa lampau, justru mendapatkan keutuhan setelah mengakui kebenarannya. Bagaimana ini bisa? Takdir ternyata memiliki cara uniknya sendiri untuk membangkitkan manusia-manusia dari masa pingsannya.

Aku telah selesai, malam ini aku berhasil menyelesaikannya. Pekerjaan yang selalu ku tunda-tunda hingga sekian waktu, akhirnya menemui masa rehatnya. Aku telah memutus semua jaring yang mungkin pernah atau bahkan masih menjeratku beberapa menit yang lalu. Aku telah memutus hingga ke akar sebuah keyakinan, cinta, kepercayaan, pada satu kali tebasan waktu. Aku berhasil mengakhirinya berkat hati yang tertinggal dan dengan setia menanti kedatangan pemiliknya, empunya yang berperasaan tumpul hingga tak sanggup mendengar panggilannya yang mungkin di lakukan selama ini. Bukan salah siapa-siapa, tapi memang takdir yang memutuskan hari ini.

Aku akan berhenti lari mulai saat ini, mengabaikan teriakan-teriakan kenangan yang suaranya menyelusup melewati celah sempit jendela dan juga atap dari bangunan tak berujud yang pernah ku anggap rumah dan sempat ku sebut surga. Aku akan berhenti lari mulai saat ini, karena sekuat apapun mereka berusaha, kenangan-kenangan itu tak akan berhasil membobol penjara yang ku bangun melalui ikatanku dengan manusia nyata.

Jawaban itu telah ada, untuk kalian yang mungkin masih menyimpan seujung tanya tentang mengapa aku lari hari itu.

Dan walaupun aku mengenalinya di luar kepala tentang jalan menuju kesana, begitu hapal lika-liku dan juga halus kasar aspalnya, kakiku tak akan penah lagi meyusuri setapaknya. Karena bangunan itu bukan lagi rumah lamaku. Bangunan itu bukan lagi tempat nyaman yang dulu ku singgahi, dan sungguh sangat tidak sopan untuk memasuki sebuah ruangan, meskipun ia tak bertuan, tanpa mengucapkan salam ataupun mengawalinya dengan sebuah ketukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar