Sabtu, 17 November 2018

Pembandingan Sempurna

Terkadang, aku ingin terlahir sebagai makhluk apa saja, selain manusia. Bahkan menjadi cicakpun sempat ada dalam daftarku. Aku membayangkan betapa mewah hidup sebagai seekor cicak itu. Ia hanya perlu melata dari dinding satu ke dinding lainnya. Bercengkerama dengan sesamanya, atau jika mau dia bisa berdiam diri di tempat yang sama dalam waktu yang tak terkira. Yang terpenting dari itu semua adalah tak ada apapun juga siapapun yang bisa mengusik kegiatannya tidak melakukan apa-apa. Hal terburuk hanyalah mati di tangan manusia, ya beberapa manusia melihat cicak sebagai butir kotoran, yang sebisa mungkin akan mereka singkirkan selagi bisa. Konon mematikan cicak bisa mendatangkan pahala. Pernyataan yang kadang memantik pertanyaan dariku, kenapa mereka di ciptakan jika ketiadaannya mendatangkan koin-koin langka tiket menuju surga? Biarkan alam yang menjelaskan ketidak mengertianku itu.

Kenapa aku memiliki keinginan langka untuk bisa terlahir sebagai cicak? Salah satunya adalah menumpuknya rasa iri pada keberadaannya. Cicak tidak pernah bertanya kepada si A kenapa si D tidak menyukainya. Cicak tidak pernah berusaha mencari tahu kenapa si B memiliki senyum menawan meskipun kakinya tidak bisa tumbuh satu. Dia hanya akan sibuk dengan apa yang kiranya berhubungan dengan makanan, dan mungkin juga keselamatan. Mereka berhenti untuk peduli atau setidaknya berhenti berpura-pura untuk peduli satu sama lain, mereka se egois itu tapi aku menyukainya. Pernahkah kamu melihat tiga atau lima ekor cicak saling berkerumun lalu terkikik-kikik begitu melihat cicak lain lewat di hadapan mereka? Mereka bukan manusia, dan aku membenci kebiasaan manusia yang seperti itu. Yang terpenting dari semuanya adalah kebebasan yang di miliki oleh seekor cicak. Ia bebas untuk menentukan dirinya sendiri untuk menjadi pengamat atau justru pihak yang di amati. Cicak bebas untuk mengutip setiap sudut yang dia inginkan dari satu objek sama. Dia bisa menjadi begitu manis pada saat-saat tertentu, khususnya ketika malam hari. Sebagai contoh, ketika satu manusia tengah berusaha melepas energi berlebih di dalam tubuh, dengan mencoba menyalurkan kepada manusia yang lain dengan cara-cara yang bisa membangkitkan naluri hewan, lalu mereka pikir hanya keduanya saja yang melihat dan tahu, sedangkan di sudut entah mana seekor cicak menempel rapat pada benda yang di hinggapinya, menurutmu apakah kemudian si cicak akan bersorak lalu berbangga hati karena telah menggenggam sebuah rahasia panas yang bisa di bagi-bagi secara diam-diam? Jawabannya adalah tidak. Mereka hanya akan puas mengamati dan menyimpannya untuk diri sendiri, mereka merekam semuanya tanpa berniat menyebarkan pada berapapun banyak kalangannya. Bukankah itu manis? Manis yang melebihi kadarnya jika bisa ku katakan. Aku tak pernah menemui jenis gula yang seperti itu beredar di antara manusia. Aku tidak pernah menemui kadar manis yang melebihi kapasitasnya di beberapa golongan manusia. Mungkin, ini hanya pemikiranku saja, tapi mungkin keberadaan manusia yang katanya di ciptakan hampir sempurna itu di jadikan kompensasi atas berkurangnya dosis gula sebagai pelengkap tubuhnya. Itulah kenapa kebanyakan manusia tumbuh dengan perilaku dan mulut pahitnya yang terkadang melampaui batas toleransi sesamanya.

Aku adalah manusia, atau setidaknya masih berujud manusia ketika paragraf ini tercipta. Sekalipun tidak ada catatan atau buku apapun yang menjelaskan daftar bahan yang di pakai oleh Sang Pencipta untuk membuat manusia, tapi aku merasa kalau diri ini kekurangan beberapa ornamen manis dalam pembuatannya. Mungkin Dia yang menciptakanku lupa menaruh gula alih-alih garam ke dalam tubuh ini. Bagaimana aku bisa begitu percaya diri dengan pernyataan itu, karena aku mencecap rasa aneh di setiap kebahagiaan yang mampir dalam hidupku. Normalnya manusia akan tertawa atau setidaknya tersenyum ketika tengah berbahagia, bahkan beberapa bisa melakukannya ketika tengah dalam kondisi sebaliknya. Sedangkan aku, tawaku pecah di saat-saat yang kurang terduga, senyumku terulas lebih sering ketika tengah menyapa makluk selain manusia, dan ketika aku melakukannya sebagai ujud perilaku manusia normal aku akan menemukan kejanggalan yang samar. Bukan karena tanpa alasan, semuanya semata-mata karena kebiasaanku berkawan dengan cicak. Mereka bisa menunjukkan ketulusan tanpa memperlihatkan atau menyembunyikan secuil kepura-puraan. Sedikit kurang etis sebenarnya membuat perbandingan antara manusia dan makhluk melata berekor panjang satu itu. Terlebih ketika sosokku masih seratus porsen berujud manusia.
Andai saja aku ini seekor katak yang bisa melakukan itu tanpa adanya kecenderungan pada salah satu objek saja, tapi sayangnya hingga saat ini aku belum bisa mengobservasi ataupun sekedar berteman dengan apapun jenis katak di dunia, aku belum mengenali ataupun melihat seberapa banyak kemiripan perilaku mereka dengan manusia, karena maaf saja jika ternyata katakpun masih sama kurang manisnya dengan manusia aku lebih memilih untuk menunda dan mengganti makhluk lain yang lebih menyerupai adonan gula dalam seluruh bahan pembuatannya. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar