Sabtu, 21 Januari 2017

Penyihir Malang

Seorang penyihir tengah dalam masa dukanya. Burung hantu yang selalu ada disampingnya kini telah tiada. Terlahap api yang membakar tidak hanya kandang tapi juga rumah majikannya. Sungguh bukan hari yang baik. Penyihir malang kehilangan segalanya, dari mulai hunian yang nyaman, buku-buku mantra, jubah favorit hingga tongkat sakti yang selama ini menjadi perpanjangan tangannya. Tak ada yang tersisa, bahkan kekuatannya. Duka telah mengisap segala termasuk kebahagiaan yang menjadi sumber dari semua kekuatan sihirnya. Dan burung hantu itu, teramat berharga. Mungkin tak apa jika si api hanya melalap hunian dan barang-barang miliknya. Tapi burung hantu itu, makhluk menggemaskan yang telah ia angkat layaknya seorang anak. Duka itu bersumber darinya. Bukankah tidak ada kata yang bisa menggambarkan sepahit apa duka seorang Ibu ketika harus ditinggalkan anaknya ? Sungguh penyihir malang.

.
.
.
Hari berlalu dan penyihir malang tengah beradaptasi dengan kehidupan barunya. Ia harus berlarian di dalam rumah hampir separo malam untuk mengusir tikus-tikus yang berlarian di lantai dan atap rumahnya. Ia harus menyalakan tungku perapian untuk menghangatkan lagi masakannya sebelum menjadi basi. Ia bahkan harus bersusah payah merakit tangga untuk ia gunakan menutup celah di antara dinding kayunya yang bergeser. Hal-hal kecil yang dulu menurutnya remeh dan jentikan tongkat saktinya selalu bisa membantunya dalam sekejap mata. Dan kini, semuanya tak akan memperbaiki dirinya sendiri tanpa penyihir itu bertindak dan melakukannya. Waktu berlalu dengan sangat hampa, ia tak mau mengingat apa saja hal hilang yang menyangkut burung hantu kesayangannya. Itu hanya akan membuat lukanya kembali terbuka, sekalipun duka lama tak sekalipun beranjak dari tempatnya. Dentang mulut kapak yang beradu dengan kayu adalah salah satu musik tersisa yang kini bisa ia nikmati, keringat tak pernah sederas ketika sebelum ia kehilangan kemampuannya. Dan secara perlahan penyihir malang menikmati jalannya. Benar adanya jika ada pepatah yang berkata bahwa garis hidup manusia sejalan dengan berputarnya bumi ini. Sesuatu yang awalnya terlihat sebagai musibah tak lain dan tak bukan adalah jenis bahagia yang tengah melemparkan sebuah canda. Tuhan memiliki selera humor, dalam ketentuannya, duka adalah jenis masakan baru yang patut dicoba. Setidaknya, itulah yang tengah penyihir malang terapkan dalam pemikirannya. Ketika hidup mulai menyodorkan sepiring luka maka sendoki mereka tanpa menghiraukan rasanya.
.
.
.
Hidup penyihir malang pernah dalam masa emasnya. Apa yang disebut dongeng oleh manusia biasa adalah kehidupan normal yang dijalaninya. Apa yang di sebut keajaiban oleh manusia lainnya adalah hal biasa yang sehari-hari ditelannya. Dan kalimat 'Pada zaman dahulu ' itu bukanlah keterangan waktu yang valid; lalu 'Dikerajaan yang sangat jauh' itu bukan nama tempat yang benar-benar eksis di peta dunia. Kehidupan dongengnya yang overdosis telah berakhir dalam sekejap mata. Menelan semua dalam bara yang berkobar dalam waktu sekian jam saja. Menyisakan sepotong sesal dan beberapa remahan nikmat.
.
Sesal karena penyihir malang lupa menyisakan bahagia barang sejumput saja agar setidaknya ia masih punya kekuatan untuk mengembalikan tongkat sihirnya. Sesal karena ketika kehidupan dongengnya masih berjalan ia terlalu malas untuk menikmatinya. Sesal untuk beberapa kenangan berharga yang lupa ia mantrai agar tak membasi di dalam kepala. Sesal untuk kehidupan dongeng yang lupa ia rekam sebelum api menyambar.
Bunyi mulut kapak yang beradu dengan kulit kayu bukanlah lagi satu-satunya musik yang tersisa. Karena kini penyihir malang menyadari hal baru, sesuatu yang melebihi kecanggihan bola kristalnya, sesuatu yang melebihi kekuatan tongkat sihir kesayangannya. Yakni intuisinya sebagai seorang manusia. Ia seperti menemukan tombol untuk menarikan semua termasuk udara. Tubuhnya mengerti apa yang ia perintahkan. Niatnya menggerakan segalanya. Dan alam sekitar perlahan bersinkron dengan raga dan juga jiwanya.
.
Api memiliki cara tersendiri untuk menumpahkan hasratnya, bara memiliki gerak favorit untuk menemukan puncak menyalanya. Dan penyihir malang membutuhkan sebuah tamparan untuk memahami suatu hal. Kehidupan dongeng yang dulu ia sampahkan mendadak memiliki fungsi. Remahan nikmat itu adalah jenis syukur yang dulu lup ia panjatkan. Remahan nikmat itu adalah jenis keajaiban yang meletuskan diri menjadi sekecil dan sebanyak percikan kembang api. Remahan nikmat itu adalah paragraf ini. Tulisanku tidak akan tercipta tanpa lebih dulu ada ledakan api. Dan nasibku semalang penyihir satu itu. Yang tengah memunguti pelajaran dari setiap ada ledakan. Penyihir itu lebih beruntung hanya melewati satu kebakaran kendati karena itu ia harus merelakan segalanya. Aku berkali-kali mengalami. Api itu sering menyapaku. Namun aku tak pernah sadar, jikalau api datang membawa sebuah pengajaran agar aku bisa lebih mengerti dan bersabar. Dua makhluk malang. Si penyihir malang dan satunya manusia gagal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar