Minggu, 20 Desember 2015

Lighters dan Aku

Pertengahan 2012,
.
.
.
.
.
.
Lighters
.
.
Kau mengenal lagu ini ? Kau menyukainya ?
Apa kau juga merasakan sebuah kedamaian lebih dari dentingan piano yang tersamarkan oleh suara cepatnya Eminem ?
Kau tidak akan menyadari betapa nada-nada -yang tersamarkan- itu benar-benar melemparkan rintik kecil bernama air yang perlahan meresap melalui dinding-dindingbercelah saluran sel darah bernama hati.
Denting-dentingtersamarkan yang selalu membuatku seperti terlempar pada jurang yang paling mendasar, sebuah perasaan yang teramat halus dimana tak ada sebuah kata apalagi sesosok tangan yang bisa menyentuhnya.
Sebuah perasaan yang ketika itu terusik maka akan menciptakan sebuah petaka batin yang tak terselesaikan.
Kau akan mengetahui itu dalam situasi yang berbeda mungkin.
.
.
Disana, diantara denting-dentingtersamarkan itu, bahkan aku seperti tengah mendengar sebuah lolongan,
sebuah kepasrahan yang tak terselesaikan. Bukan sebuah teriakan, hanya sayup-sayup kecil penuh syarat.
Aku tau suara itu tidak ada..bahkan ketika aku membuat semacam riset terhadap beberapa telinga, dan jawabannya sangat mencengangkan, suara ? denting piano ? yang mereka dengar hanyalah berisiknya si rapper itu. Mereka menganggapku berhalusinasi untuk suara penuh syarat itu,
dan berakhir pada aku yang akan memilih terdiam kini. Jangan mengatakan telingaku juga memiliki perbedaan. Sebut saja mereka yang tak mendengar suara itu. Aku juga terkadang tidak mendengarnya, hanya ketika hatiku tengah berada dalam jangkauan ketenangan paling akutlah suara itu akan teraba.
.
.
.
Apa yang ingin ku ketik sekarang ? terlalu banyak yang ingin ku sampaikan hingga semuanya membias dan menghilang, aku membenci saat-saat seperti ini.
Aku hanya tengah merasa.. sebuah mimpi telah menjeratku dengan rantai waktu yang tak mengenal akhir. Sebuah pelemparan sembarang akan pengarahan pola pikir terrencana tapi penuh halusi.
.
.
Pemenang, apa yang kau artikan dalam sebuah kata pemenang ? ataukah dia yang mengangkat trofi berkilau emas, ataukah dia yang berhasil memeluk dengan erat sesuatu yang menjadi objek berharga itu ?
"Pemenang adalah dia yang berhasil memiliki hatiku" itu kalimat yang keluar dari mulut seorang Cho Kyuhyun.
Aku sepenuhnya menyetujui kalimat itu..tapi dalam artian yang lain, ketika aku berhasil memenangkan hatiku sendiri, maka saat itulah aku berhak berteriak aku pemenang !
.
.
.
.
.
.
.
.
Dan sebuah kekeringan pun datang. Sebuah musim yang selalu berhasil membuatku terjebak dalam masa keruntuhan karena dinginnya. Aku benci musim kemarau, aku membencinya karena dia selalu menghadirkan dingin terbaik daripada musim lain yang menghadirkannya.
Aku membenci itu sama halnya ketika aku membenci bahkan mengutuk sendiri karena tak dapat menghentikan diri dari sebuah ketercanduan.
Aku berkata aku berhenti untuk melakukan hal paling menyenangkan itu, berhenti memandang tetes demi tetes aliran kehidupan yang tejilat dengan penuh napsunya oleh lidah-lidah tajam itu.
Aku berjanji aku akan berhenti pada mereka -tanpa mereka tau sebuah janji itu yang tengah membantuku berhenti- dan kemudian perlahan mereka mati..ataukah aku justru yang membunuh diri sendiri ? Aku tidak yakin,
mereka tidak memahami ini bahkan ketika aku telah mengatakannya, mereka tidak mengetahui dan tetap tidak tau apa-apa sampai mungkin nanti lidah tajam
akan mengatakan kepada mereka dengan teramat gamblang alasannya. Dan karena ini hidup, akan selalu ada yang mati bukan ?
Kebingungan ini, kesendirian yang tak pernah untuk seseorang bisa memasukan dalam kamus hidup mereka. Sebuah kesunyian yang selalu sukses tertuang dengan indah dan rapi dalam sebuah cerita, ataukah sebuah perasaan yang terwakili oleh senyapnya dentingan piano yang tersamarkan dalam sebuah komposisi bernama lighters. Kehidupan ini melahirkanku, dan setelahnya mereka membunuhku.
Aku benaran tidak yakin tengah menyelami kehidupan yang seperti apa. Aku tidak tau bahwa akan ada sebuah emosi yang membuat aliran darah menuju jantung terasa seperti tersumbat seperti ini.
Aku tidak pernah mendapatkan sesuatu, sekalipun hanya memegangnya, dan salahkan saja perasaan ini yang dengan sepenuhnya merasakan telah memiliki mereka dengan sepenuhnya.
Salahkan saja hembusan waktu yang juga telah menyematkan sebuah kata dalam tanda petik, bahwa kenyataan memang ditakdirkan untuk hidup lebih lama dari pada aku , yang notabene bernafas dari pada kenyataan itu sendiri.
.
.
.
.
Perasaan ini, kembali menyudutkan aku pada sebuah pagi yang penuh dengan aroma ketakutan disudut kamar pengap dan teracak dengan sangat sempurna. Perasaan ini, kembali melemparku dalam pagi dimana sebuah tangis menyergapku tanpa sebuah kata permisi sebelumnya. Dan pada akhirnya, biarkan aku merangkak menangis untuk meminta siapapun membiarkanku mengubur kembali dari telapak tangan yang dingin ini sampai berakhir pada tak terlihatnya aku.. seluruh tubuhku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar