Selasa, 01 Desember 2015

Celoteh Sang Pemenang

Usia kita terpaut hanya beberapa tahun saja. Dilihat dari kecakapanmu berceloteh, sanggup kusimpulkan bahwa engkau mengenal isi dunia ini lebih jauh dan lebih luas daripada aku. Tapi pepatah sang bijak tak pernah salah, bahwa jam terbang adalah kendaraan paling baik demi memberi pengalaman. Dan dengan izin alam, aku menang. Atas sekian tahun milikku yang terpaut diatasmu. Hari ini aku tidak ingin berbicara tentang alam, malam, ataupun tentang cicak di dinding kamar. Tapi tentang engkau atau beberapa makhluk yang setara denganmu.
.
.
.
Sekalipun jika rasa percaya akan adanya teman adalah sesuatu yang mustahal. Tapi tidak bisa dipungkiri jika dunia ini terlalu luas untuk bisa ditaklukkan sendiri. Ya, sekalipun aku tidak bisa percaya pada kata 'teman' atau bahkan memilikinya. Tapi..tetap saja, Tuhan tak akan membiarkan aku tertatih sendiri di kehidupan yang membingungkan ini. Dengan segala ketidakrelaan, kubiarkan satu demi satu nama terpikat pada(entah apa)ku. Dan mengikat satu kata 'teman'. Dirimu termasuk dalam daftar yang tertarik untuk menjadikanku teman.
.
.
.
.
Selamat datang. Engkau dengan segala ketidaktahuanmu tentang aku, tentang darah apa yang mengiliri hingga berbagai penjuru selku, atau tentang siapa sebenarnya yang memakai topeng sebagai aku. Engkau hanya bisa bertindak sebagai manusia normal, yang menyamaratakan segala jenis raga. Dan aku membenci ketidaktahuanmu itu. Tapi memang siapa aku ? Hingga engkau dituntut untuk bisa serinci itu tahu tentangku ? Lihat betapa ini sangat menggelikan. Aku ingin tertawa. Dari segala probabilitas yang mungkin bisa kau temui didunia ini. Dan itu aku, kenapa harus aku ? manusia yang menganggap dirinya istimewa, padahal sesungguhnya ia tak lebih dari seorang anomali. Dan kau terlena dengan keanomalianku, mungkinkah ?
.
.
.
.
Aku tidak memilihmu, seperti aku tidak memilih siapapun diantara beberapa mereka. Engkau datang dengan kerelaan, bukankah ?
Dan ketika datang hari dimana topengku terjatuh, terkuaklah siapa diriku. Dan engkau mulai membenciku ? Menyalahkan aku, mengarang sebait cerita seakan-akan aku telah melakukan pengkhianatan besar abad ini. Oh dewa...aku pemenang. Lupakah kau untuk satu garis takdir itu ? Aku pemenang, untuk sekian tahun milikku yang terpaut diatasmu.
.
.
Bahkan jika aku terlahir kemarin sore, akan kupastikan benar bahwa beberapa baris kata yang kuyakini sebenarnya adalah mantra. Bahwasanya, hanya aku dan Tuhan..dua-duanya yang bisa kupercayai didunia ini. Hanya aku teman terbaikku didunia ini. Tidak ada makhluk yang akan sanggup menjabat kedudukan itu selain diriku. Hanya diriku.
.
.
.
Engkau mungkin akan bertanya, aku ini makhluk apa. Bukankah ?
Tidak, jangan kau putar lagu yang sama seperti yang mereka selalu lakukan sebelumnya. Aku hanyalah aku. Yang sadar mempesona namun tak ingin terikat dengan judul apapun. Aku adalah aku. Yang sadar istimewa namun tak ingin digurui oleh siapapun.
.
.
.
Dunia begitu membosankan teman. Tidak, bukan karena aku membenci adanya kehidupan. Aku hanya merasakan jenuh pada para pecundang-pecundang dalam balutan dandanan menor, pada para bajingan. Dan mungkin kau termasuk dalam jajaran mereka teman. Aku berkata jujur, dan kau mengerikan.
.
.
.
Nama-nama menyimpan mantra. Dan dari sekian ribu pilihan yang disediakan, kenapa juga tanah harus menjadi yang menarik bagi mereka ? Untukku pula . Mungkinkah jika mereka telah mengetahui bahwa aku bukan manusia biasa bahkan sebelum aku sempat menginjak tanah ? Kenapa tanah ? Karena mereka berharap aku akan siap ? Karena mereka berharap aku akan manut ? Manut untuk dijadikan dasar. Siap untuk dibentuk, digali, ditumpuk dan bahkan diinjak ?
Bagi siapapun yang tak paham, termasuk engkau. Mungkin akan mendeskripsikan tanah hanyalah sedangkal itu. Kalian tak paham. Bahwa aku juga mempunyai tugas untuk melumat. Tak peduli seberapa dalam kalian bersembunyi, kuasaku akan terus membayangi. Dalam tanganmu, aku bisa hadir dalam ujud lucu. Dengan kakimu, aku sanggup terpijaki sekuat itu. Dengan kekuatanmu, aku bisa menjadi apapun yang kiranya sanggup memenuhi harapan dan hasratmu. Tapi dalam kuasa dan mantra yang dibekalkan padaku, engkau dan mereka semua tak akan pernah bisa menolak dan lepas dari tangan, ketika aku mulai jengah, ketika aku mulai paham kenyataan, ketika aku mulai sadar.
.
.
.
Bukan aku yang memilihmu. Bukan aku yang memaksamu. Tapi ketidaktahuanmulah yang aku benci. Tapi ketidaktahuanmulah yang ingin ku maki. Dalam gelap, dalam terang. Aku sanggup menelan, meluluhlantahkan. Tanpa seizinmu sekalipun, karena aku adalah yang ditakdirkan menang. Aku pemenang, untuk sekian tahun yang terpaut diatasmu.
Andai ada satu pertanyaan yang kuingin kalian jawab tanpa harus melewati proses gila, pasti adalah sebuah tebakan asal. Berapa usiaku ?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Pada kenyataannya. Ketidaktahuan, terkadang memang lebih berarti dari segalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar