Kamis, 19 September 2019

Pemahaman Terakhir

Aku pernah menginjakkan kaki di sini, tanah gersang bermandikan tanaman mati. Mungkin saja bukan tempat ini, tapi ketiadaan kehidupan bukanlah sesuatu yang baru untuk kutapaki. Dingin, bukankah ini tidak wajar? Karena sekarang siang dan bukan malam. Sebelumnya sinar matahari tidak pernah gagal menghangatkan makhluk di pelukannya. Tapi entah anomali apa yang tengah melanda daratan mati satu ini, atau justru akulah sang anomali itu?

Aku benci mengakui, tapi air mata mulai mengawali pengakuan itu. Semuanya mengalir nyaman dalam sedu sedan yang tak terhentikan. Aku akan terus menangis jika itu mampu menghidupkan tanaman mati yang terus menyerbu pandangan, aku akan terus menangis jika itu mampu memberikan lagi kepada sang tanah kehidupan, aku akan terus menangis jika itu mampu mengetuk matahari untuk kembali membawa kehangatan, aku akan terus menangis meski sudah tak bisa lagi merasa.

Aura kematian merembes sama cepat seperti udara berlalu. Dalam sekejap aku mulai kehilangan akal, sedu sedan saja tak lagi dapat menyampaikan karena setelahnya aku harus meraung mengerikan. Apa kalian mengerti kesedihan ketika harus menjadi satu-satunya yang hidup ketika semuanya beranjak mati? Aku seperti mengendarai raga milik orang lain. Ketika tiba-tiba saja semua terasa seperti berdenyut, tanah gersang, tanaman mati, bahkan matahari, mereka hidup untuk menyambut setiap langkahku, langkah yang tak ku rencanakan dan kusadari. Kematian merespon ketulusanku untuk berbagi.

Entah luka atau tawa yang tengah ku dekap, karena semua jenis emosi mendadak kehilangan wajah mereka. Mengantisipasi adalah hal terbaik yang bisa kulakukan, mengosongkan perasaan adalah syarat mutlak untuk bisa menjabarkan. Ya, aku ingin suaraku terdengar, dalam kepungan tanah gersang dan matinya tanaman. Aku ingin suaraku terdengar, meski hanya gaung yang memberikan jawaban.
Meski hanya gaung yang berani memberikan jawaban.

Bila mungkin, aku ingin siapapun membawaku keluar dari sini, area penuh kematian menyesakkan pernafasan, hawa dingin yang semakin pekat memberatkan perjalanan. Tapi sejauh mata memandang selalu hanya mereka yang terlihat, matahari yang kehilangan arti, tanaman mati, dan tanah gersang. Mereka yang dalam goyahku rela menghembuskan tanda-tanda kehidupan, entah memang seperti itu atau hanya aku yang menginginkan mereka seperti itu.

Satu, dua, tiga, kusampaikan rintik air mata terakhir yang masih tersisa, kembali mengetuk raga yang telah mati rasa. Sepertinya inilah akhir dari segalanya, kekecewaan, harapan, mimpi, berapa banyak nama yang terlibat dalam lingkaran ini? mereka yang memberi andil dalam kecewa yang tak terkatakan, mereka yang memulai dari akhir mengejutkan ini. Langkahku hanya akan berputar-putar di area ini, seberapa kuatpun aku ingin mengakhirinya, karena ternyata tanpa kusadari, raga ini telah mengikatkan diri pada tema pertemanan dengan keadaan sekitar. Rautku meneduhkan tanaman mati di sekelilingnya, tanganku mulai bergandengan dengan matahari dalam memutar poros kerjanya, bahkan bayang hitam di belakang pun tak mau ketinggalan menyumbangkan andil bagi senyumnya si tanah gersang.

Sesuatu sekarang mulai terpahamkan. Kematian tak membutuhkan teman, kesedihan tidak hanya bisa di tangisi tapi juga di cicipi lalu di daur ulang, bahkan jika semua nafas menjauhimu bukan berati engkau sendirian. Karena terkadang, situasi terburuk pun bisa menjadi teman, sesuatu yang tak hidup pun bisa menghapus kesendirian, yang perlu di lakukan adalah mencoba mengulurkan tangan, tidak peduli jika yang menyambutmu adalah tanah gersang, matahari yang telah kehilangan daya, tanaman tanpa nyawa. Tidak peduli jika yang menyambutmu adalah kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar