Jumat, 27 September 2019

Separo Waktu

Dulu, ketika air lautan masih terasa hangat meski kucelupkan kakiku ketika gelap melanda.
Dulu, ketika masih bisa kulahap setiap makian sebagai candaan.
Waktu seperti telah berlalu sangat lama sejak hari itu.

Engkau yang pertama mengulurkan tangan, menyambutku dalam tawa penuh terimakasih dan juga bahagia. Engkau yang pertama mengetuk hatiku agar mau kita bergandengan. Engkau yang pertama memperkenalkanku pada duniamu yang sekarang menjadi dunia kita.
Aku tidak serta merta mengulurkan tanganku waktu itu, jelas saja. Aku menimbang teliti tentang bagaimana aku akan bisa melanjutkan kehidupanku selanjutnya. Tapi kau meyakinkan keraguanku dalam genggaman yang tereratkan. Hingga kemudian kita berjalan beriringan. Melewatkan separo siang dan separo malam lebih lama untuk bersama ketimbang dengan siapapun nama. Apa kau ingat cerita tentang kesalahan-kesalahan itu? Apa kau ingat tentang waktu buruk yang lalu itu? Ya aku bersamamu, dan aku mengingatnya. Apa kau juga ingat perjalanan panjang menelan malam yang kita lalui bersama? Apa kau juga mungkin ingat ketika kita bersama menyusuri tiap sudut jalanan demi satu tujuan? Ya, aku menyertaimu, dan mengingat itu. Aku mengingat semua suka duka itu meski aku percaya kepalamu berisi sebaliknya.

Terkadang, kita merasa telah berhasil menemukan jalan menuju kehidupan yang damai menyenangkan. Tapi terkadang, jalanan lengang yang menyapa kita justeru tidak akan membawa kita kemana-mana, sekalipun kita tabah menapakinya hanya ada kebuntuan di depan sana. Jalan kehidupan tidak pernah tercipta sebagus dan semulus itu, dan bagi siapapun tercipta sama, hanya memiliki liku dan jenis kepanjangan yang saling berbeda.

Aku mengira hubungan ini akan mengekal untuk selamanya. Aku mengira keberadaanku telah naik status menjadi semacam saudara, aku bahkan sempat mengira akan kau rangkul dengan lebih mesra, setelah banyaknya duka yang kita lalui bersama. Tapi nyatanya aku keliru. Jalanan berliku yang semula terlihat sebagai jalan hidupku ternyata masih saja menemui jalan buntu, sekali lagi aku salah mengartikan isi takdir tuhan, karena selain meragu sekarangpun tekadku kian menguat untuk bisa melepaskan.

Perjalanan panjang ini bukannya tidak memberikan padaku pengaruh apa-apa, karena itu sangat berharga. Sedih mengatakan ini tapi perjalanan panjang kita seperti harus menemui titik akhirnya. Kebahagiaan kita menemui titik buntu, aku merasa ragu, dan yang terpenting dari semuanya adalah jarak panjang yang secara tak sadar terus engkau ciptakan. Aku mengabulkan permintaanmu yang kedua, aku akan berusaha untuk berjalan teratur mundur dari jajaranmu, dari patner langkahmu, dari separo siang dan malammu.

Semua orang nanti akan mengira berakhirnya hubungan kita karena lemahnya keinginanku untuk terus bertahan, kelemahan terbesarkulah yang mengacaukan segalanya. Ya semua orang paham bagaimana mudah tersentuhnya diriku, terlahir sebagai nama dengan perasaan yang lebih sensitif dari siapapun, dengan hati yang begitu rentan untuk menghadapi kondisi apapun. Nyatanya, sebelum ini telah kutempa diriku menjadi sekuat baja, perjalanan panjangku sebelumnya telah menitipkan padaku kekuatan tersembunyi yang masih enggan kubagi-bagi. Tapi seberapa kuatpun aku berusaha untuk menjadi manusia baja, tetap saja kudapati goresan luka muncul di setiap percakapan yang menggulir di beberapa waktu bersama kita. Ya, aku yang berdarah dan tengah merangkak mundur untuk menghindari luka yang lebih menganga.

Tapi apakah kau sadar tentang hal itu? Kau pasti mencium juga keenggananku akhir-akhir ini, kau pasti juga merasa sesuatu yang tak baik tengah melanda hubungan kita. Dan sekali lagi aku terluka oleh ketiadaanmu merespon semua yang tengah menerpa. Kau bertindak seakan semuanya baik-baik saja. Itulah satu-satunya hal yang menyakitiku, andai kau ingin tahu.

Tentu saja aku ingin kita bisa memperbaiki semuanya, waktu yang sekian lama terlewati tak ingin begitu saja  terbuang tanpa makna. Dan lagi-lagi ragu itu datang lebih cepat dari kedipan mata. Aku meragu untuk langkah di depan kita, aku meragu untuk ketulusan yang pernah kau tawarkan di muka. Akan sulit tentu saja mengakhiri kebiasaan, terlebih yang terbentuk oleh separo siang dan separo malam, tapi aku akan bertahan, lupa di anggap ada bukanlah hal baru dalam babak hidupku, lupa di anggap berharga bukanlah sesuatu yang pertama menjumpai perjalananku. Aku akan baik-baik saja. Mungkin memang bukan engkau yang menggariskan jarak di antara kita, aku yang melakukannya. Mungkin bukan engkau yang mengiris disetiap pertemuan kita, tapi akulah yang memegang pisaunya.

Ya, dengan berbekal kejujuran itu, maukah kau melepaskanku? Maukah kau berbaik hati menghapusku dari separo siang dan malammu? Karena sebuah paksaan tidak akan menghasilkan apa-apa, karena sesuatu yang terbumbui ragu tidak akan menghasilkan hidangan, karena meski tidak pernah tertulis di atas kertas tapi seperti telah menjadi ciri khas diriku untuk tetap melanjutkan langkah yang pernah ku ambil. Dan aku memilih untuk memutar langkah, menjauhimu beserta duniamu, meninggalkannya meski tanpa rela. Sekali lagi aku ingin engkau menjawab semua keraguanku, maukah kau melepasku dari separo siang dan malammu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar