Jumat, 20 September 2019

Bunga Matahari

Kuncup bunga matahari mulai menyapa pagi, kemarin kulit hijau masih membungkusnya, tapi hari ini dia mulai berani memperlihatkan diri. Aku menantikan kedatangannya untuk waktu yang terasa sangat lama. Di tengah pelukan musim kemarau panjang, kuperlakukan ia bak putri kesayangan, merawatnya tumbuh tidak pernah terasa menjadi beban. Siapa yang akan pernah terbebani oleh cantiknya calon bunga matahari? Aku secara khusus menyukai warna kuning, membayangkan diri berdiri memandang berhektar-hektar ladang tanaman satu itu membuatku merasa istimewa.

Tapi milikku hanya satu, atau mungkin baru satu. Kudapatkan dari seseorang yang tidak hanya paham tapi benar-benar mengerti karakter jenis bunga satu itu. Ia pernah berkata bahwa bunga matahari akan mengajak siapapun yang menyayanginya untuk bersinar, dan ya, walaupun masih berujud kuncup aku mulai mempercayai kebenaran kata-katanya, sebelumnya hari-hari berlalu hanya sebatas lompatan angka, 1,2,3,4, dan seterusnya. Lalu berganti menjadi lingkaran bulan yang juga hanya berlalu tanpa makna. Tapi semenjak benih bunga berada dalam genggamanku, sebelum akhirnya ku tabur dalam sekotak lahan di pekarangan, sesuatu telah merebut perhatian bahkan sebelum aku benar-benar menyadarinya. Dari yang semula hanya pohon kecil rapuh berdaun sepasang, hingga kemudian tumbuh menjadi semakin tinggi dan terus menjulang, aku seperti tersirep oleh pesona pohon berdaun lebar satu itu, waktu melayang, bukan lagi tanpa makna tapi bertabur harap dan semangat, ya, aku begitu bersemangat menantikan tumbuh kembang kuncup bunga sebelum nanti tiba saatnya untuk mekar dan bersinar. Waktu menuntunku dengan begitu teliti, sehati-hati saat kujaga lingkungan sekitar untuk menyambutnya, dia istimewa, begitu istimewa.

Musim penghujan yang menanti di ujung ufuk adalah sambutan yang tepat bagi mekarnya bunga satu itu, dia tidak akan lagi merasakan buasnya angin berbalut debu, dia tidak akan lagi merasakan tanah gersang di sekitar karena begitu kurangnya pengairan, dia akan tumbuh secerah matahari pagi, dia akan tumbuh menjadi secantik yang pernah ku bayangkan, esok yang panjang mungkin dia akan bertemu sekumpulan indahnya, entah tanaman jenis baru atau justru yang serupa, dia akan memiliki teman seperti yang selalu ku angankan. Pekaranganku mungkin tidak seluas hamparan ladang impian, tapi di sana akan bertumbuh banyak tanaman sampai cukup untuk menemaniku menua. Bunga matahariku akan tumbuh menjadi yang tercantik dari semuanya, si istimewa akan tetap menjadi istimewa ketika kelak berbaur dengan banyak tanaman lain, karena memang dari awal kehidupannya tidak hanya air yang mengaliri dahaganya, tapi juga sesuap tulus dan rasa sayang yang mungkin tidak di dapat oleh teman-temannya.
Hanya satu yang mungkin ingin kubisikkan kepadanya, pesan kepada sang bunga yang keutuhannya begitu memesona. Bahwa dia bukanlah apa-apa dan tidak akan menjadi siapa-siapa tanpa kasih sayang dari semesta. Meskipun aku telah dengan begitu bangga berkata bahwa akulah sang empunya, bahkan telah kurawat ia setelaten kujaga anakku, tapi semesta tetaplah semesta, ia adalah ibu dari segala yang bertumbuh di permukaan dunia, aku tidak bisa dengan begitu lancang merebut hak-hak pengakuannya.
Aku ingin bunga matahariku kelak tumbuh menjadi sesuatu yang menyenangkan, kendati kemanapun pandangannya selalu merujuk pada arah matahari, dan seharusnya hal itu tidak lantas membuatnya jadi besar kepala, merasa lebih bisa dan lebih berharga.
Karena kesombongan adalah sejenis lubang yang akan menenggelamkan siapapun yang membuatnya, dan hal itu berlaku bagi seluruh makhluk hidup di dunia. Tak terkecuali bagi tumbuh-tumbuhan.

Bunga matahari akan tersenyum menyambut pagi, menebarkan kesejukan bagi siapapun yang memandang, bersama mentari keduanya akan menciptakan melodi yang begitu pas dalam meniupkan kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar