Rabu, 21 Oktober 2015

a.. B.. c.. d...

Hatiku yang malang, kembali tercabik oleh sebuah sapaan. Hatiku yang malang, kembali tergores oleh mata yang beririsan. Dan mata itu sekali lagi memberitahuku sebuah kejujuran. Dengan apa aku harus membencimu ?

Aku tau semua sudah harus berakhir. Bahkan awal dari cerita ini tak seharusnya ada. Tapi tawamu yang menyandera akal sehat, senyum sinismu yang perlahan menggariskan luka. Aku hanya bisa berdiri sendiri disini, memeluk hatiku yang malang.



Siang itu, adalah akhir bulan kelima saat engkau datang dengan raut kusutmu. Matamu bersahabat, tapi tidak dengan tutur ucapmu. Beruntung aku ada dengan segala keanomalianku. Sanggup membaca apa yang disuguhkan retina.
Hari bergulir dengan membawa pula cinta yang tertambat pada hati. Tidak! Senyum itu tak akan kubiarkan melelehkanku. Hidung yang menjulang itu tak akan kubiarkan menyaingi tinggi nalarku. Bahkan jemari kokohmu tak pernah lepas dari incaran mata musangku. Hatiku yang malang, jatuh pada tebing yang curam. Hatiku yang malang, melihat surga dari gelap jerujinya.



A.. B.. C.. D...
Sekali lagi anomali memberitahuku, bahwa hatimu sesungguhnya mulai memanggil. Mata yang memberitahuku kejujuran. Tak pernah aku seyakin ini sebelumnya. Engkau makhluk hebat...sanggup menahan rasa yang sedemikian besar hanya karena si keparat keadaan yang tak mengizinkan. Aku tau, keanomalianku menempati ruang kosongmu dengan teramat pas. Aku tau, keanomalianku menyandera akal juga hatimu dengan sigapnya. Tidak bisakah sekali saja bibirmu menggantikan matamu untuk menyampaikan kejujuran itu ?
Hatiku yang malang, melayang tak tertangkap diawan. Hatiku yang malang, terpikat oleh misteri yang tak pernah terpecahkan. Dan mata itu sekali lagi memberitahuku sebuah kejujuran. Dengan apa aku harus membencimu ?


Jalan tertutup salju didepanku kini. Dingin, putih sepanjang mata memandang. Dan hadirmu tetaplah misteri bagiku. Tak akan kuulangi perjudian yang dulu pernah membobol retina. Tak akan kuakui suasana hati bahwa aku juga mulai menginginkan. Sungguh rasa ini anomali seperti halnya aku. Mungkinkah hatimu tengah dalam masa menyembuhkan diri kini ? Setelah jarak yang terlihat sekarang ? Akankah hatimu juga merasa malang karena tetap kubiarkan semuanya sebagai misteri tunggal ? Yang aku tau..jalanku sekarang sungguh terasa membekukan dan aku tak tau bagaimana cara untuk mengungkapkan kerinduan.


Jemari kokoh itu, hidung yang menjulang itu, raut wajah yang menyimpan sesuatu. Hati yang masih menyimpan segudang tanya. Biarkan aku hidup dengan kepercayaan diri bahwa hatimu selalu memanggilku. Biarkan aku bernafas dengan keyakinan sendiri bahwa namamu selalu merindukan kehadiranku. Biarkan aku mendekap sendiri hatiku yang malang.


Rindu selalu lolos muncul ke permukaan. Lalu dengan apa harus kubahasakan ? Koma mati di ujung jalan, titik berhenti di persimpangan, bahkan spasi tak sudi menampakkan dirinya digaris start.
Hatiku yang malang. Mengais sendiri aksara yang berserakan. Demi sesuap rindu yang bisa tercerna oleh mata. Anomali kembali menyapa dalam rinai hujan sebelum petang. Aku menyiakan banyak musim hanya karena misterimu ? Mungkinkah ? Ini pasti bukanlah kesia-siaan karena disetiap keping namamu, terselip senyum bahagia milikku. Dan sekali lagi bayang matamu yang tengah menyampaikan kejujuran memanggil nalar dan mulai menyidangku. Harus dengan apa aku membencimu ?




Hatiku yang malang, tak akan kubiarkan engkau merasakan dingin menggigit ini. Hatiku yang malang, kudekap engkau degan semua kehangatan. Mari kembali menapaki jalanan kering ini. Mungkin diujung persimpangan sana akan kita temukan aksara untuk membahasakan kerinduan. Mungkin diujung persimpangan sana akan kita temukan belati demi membunuh rasa yang tak wajar. Tak akan kubiarkan dingin membunuhmu wahai hatiku yang malang. Melangkah sekali lagi dalam dekapanku. Karena aku tau, waktu tak pernah gagal memberikan sebuah jawaban tepatnya.


Misteri memanggil..misteri kembali menyapa. Hidung yang menjulang, jemari kokoh, bibir yang menyimpan pedang, mata yang menyajikan kejujuran. Anomaliku menamai mereka semua dengan cinta. Anomali merangkul semua itu dalam kasih tak sewajarnya. Dan yang aku percayai hanyalah hati yang terus melihat kejujuran diujung tombak matanya. Merobekku dan meninggalkannya dalam jalan penuh misteri miliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar