Selasa, 27 Oktober 2015

B . I

Besok, tepat 2 minggu saya resmi menyandang gelar pengangguran.
Sebelum ini, saya bekerja disebuah tempat dengan penghasilan yang bisa dikatakan tinggi jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata untuk jenis pekerjaan yang sama dikota saya.
4 tahun 1 bulan tepatnya saya mendedikasikan bukan hanya waktu, tenaga tapi juga hati saya. Ya, saya jatuh cinta dengan pekerjaan saya. Karena mungkin ini kali pertama bagi saya benar-benar tabah melewati tahap per tahap dunia keras manusia tua. Saya mulai bekerja di tempat itu ketika berumur 19 tahun. Saya mulai masuk, dikucilkan sebagai anak baru yang tidak memiliki teman. Berkenalan dengan rutinitas bangun pagi pulang petang. Berjabat tangan dengan aroma gedung beserta bau pekerjaan. Beradaptasi dengan dunia yang kelak menempatkanku pada kelas baru babak pendewasaan.
Ditempat itu, saya memiliki teman. Tidak banyak, hanya dalam hitungan jari saja. Saya memiliki satu atau mungkin dua nama yang kelak kuangkat mereka menjadi saudara. Tempat saya bekerja itu sangat keras. Harus diakui...ketidakadilan adalah hal yang wajar. Normal. Kesenioran juga diterapkan disana. Dan harus diakui..saya sempat depresi karenanya. Tapi saya bertahan. Tahap demi tahap, hari demi hari. Semua yang awalnya terasa sangat berat dan melelahkan perlahan mulai bisa kunikmati. Menikmati dengan jalan mengabaikan. Ah...akhirnya, tempat yang selalu kusebut sebagai neraka bisa juga menghadirkan suasana surga. Keadaan sama, tapi otak saya yang mendesain semuanya berbeda. Teriakan saya pandang sebagai sebuah lelucon. Disaat mereka para rekan kerja saya berlomba menunjukkan kecantikan, saya tetap bertahan dengan memandang mereka sebagai dagelan. Lelucon saja. Dan, disana saya juga memiliki beberapa sosok yang tidak saya sukai. Jika mayoritas penghuni gedung membenci pemimpin mereka yang terkadang menjengkelkan dengan berbagai macam aturan tak masuk akalnya. Saya, justru membenci orang yang terkadang lewat. Saya membenci mereka yang saya butuhkan. Saya membenci untuk alasan yang tak masuk akal juga. Sampai pernah, dalam hati saya berjanji..saya akan bisa bekerja mandiri tanpa bantuannya. Dan itu terbukti berhasil. Surga oh surga.
Dan tentang jatuh cinta. Ya, pekerjaan apalagi yang bisa membuat saya begitu takjub dalam menikmatinya selain ditempat itu. Terlebih, disana terdapat juga satu atau dua tempat untuk mencuci mata, saya tergoda, pada rekan kerja. Oh tidak. Ini bahaya!


Ketika semua sudut neraka berhasil saya taklukkan. Tibalah saya pada hari dimana saya memutuskan untuk keluar dan berhenti dari tempat itu. Hari itu sungguh pagi yang cerah. Tanpa pemberitahuan kepada siapapun, saya mengundurkan diri. Dengan alasan tak masuk akal dan jelas kebohongan belaka. Surat pengunduran diri ditangan. Saya sempat menangis. Rekan kerja saya juga menangis. Kenapa ! Surga ini..saudara saya..kenapa harus saya tinggalkan ?! Bisakah surat pengunduran diri ini saya robek dan buang saja lalu saya kembali bekerja ?
Tapi entah bisikan apa, satu demi satu tanda tangan saya dapatkan. Saya resmi dengan semangat.
Tempat parkir yang sehari-harinya bising, hari itu senyap. Saya tertawa linglung memikirkan keputusan yang hanya dirapatkan tidak kurang dari lima detik.
Saya mengundurkan diri dengan tenang.

Satu hari setelah pengunduran diri itu. Saya mulai kesana-kemari menyodorkan surat lamaran kerja. What the !
Dua hari, sepuluh hari. Pada akhirnya saya menyerah mencari jawaban kenapa saya mengundurkan diri saat itu. Bosan ? Iya pasti. Saya melewati masa emas pengangguran saya dengan kegiatan monoton. Bangun tidur, mandi (kadang), membersihkan rumah (kadang), makan (kadang), nonton tivi (pasti). Tuhan. Saya tidak akan menyesali keputusan saya. Lalu apa ?
Saya merindukan surga itu, pekerjaan saya, saudara2 saya, rekan berkelahi selama jam kerja saya. Ahh..saya tidak akan menyesalinya.

Saya memang termasuk orang yang keras. Orang lain memandang saya unik dan sebagainya. Entahlah.
Dan hari ini. Sepulang dari rutinitas mengitari pasar. Saya mulai merenung. Saya bukan lagi manusia yang sama. Ya...keputusan dua minggu lalu membebaskan saya. Setiap orang yang saya temui seakan menyayangkan keputusan saya untuk keluar dari tempat kerja. Tapi saya..secara pribadi..menginginkan ini. Memiliki waktu untuk memanjakan diri meski hanya dengan tidur sepanjang hari setelah sekian tahun waktu milik saya tergadaikan. Saya bebas. Saya bisa tersenyum. Saya bisa menyuapi batin saya dengan waktu yg bergizi. Sesuatu yang tak pernah saya lakukan sebelumnya. Dan saya masih yakin tidak memiliki penyesalan untuk keputusan dua minggu lalu. Batin saya, jiwa saya, saya yang berdiam didalam saya, mereka membutuhkan kehadiran saya. Dunia tidak akan pernah habis keinginan jika kita terus menurutinya. Dan saya rasa, tidak ada siapapun dan apapun yg dapat memperlakukan "saya" sebaik saya sendiri.

Dan hari ini. Saya memutuskan, tumpukan buah tomat dipasar lebih enak dipandang juga "mengenyangkan" ketimbang slip gaji. Kelegaan yg tak akan tergantikan. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar