Jumat, 25 Juli 2014

Alam Yang Mengikatkan

Hujan menyambut senja dipenghujung bulan ketujuh. Satu tahun lalu, dibangku yang sama, dipetak yang sama juga pernah terukir kisah. Satu cerita yang hanya menyisakan dalam ingatan berupa kepingan lumatan bernada santai. Ia pernah ada disini, hadir beserta dinginnya malam yang tak sanggup menjebol kehangatan tembok bambu. Ia pernah ada dibangku ini. Tempat dimana seonggok tubuh tengah memeluk diri berbalutkan dingin dikala senja mulai melambaikan tangannya.

Ini adalah satu catatan tentang si bisu dan si kepala batu. Keduanya sama keluar dari perut ibunda dan bukan terlahir paksa dari pecahan batu raksasa. Dan hujan mempertemukan mereka disela perjalanan masing-masing menuju mati.


Hidup tak ubahnya adalah lingkaran tunggal yang mana sudut pusatnya adalah cara pandang setiap manusianya. Si bisu mengisyaratkan Si kepala batu agar memberi ruang bagi hujan menunjukkan aksinya dalam dingin yang meremukkan tulang, ia membentuk berbagai pola dari kedua tangannya, menyapu udara
melalui pergerakan jemarinya. Dan yang ditangkap oleh lawan bicaranya hanyalah isyarat baku tanpa makna. Keduanya bergumul dalam peperangan bahasa, saling melumat berbagai tanya meleburkan mereka dalam berbagai persepsi juga sudut tangkapan.

Hujan mereda ketika gelap datang membawa angin menyejukkan. Tak ada lagi dingin menusuk yang melingkupi, kecuali ketika udara berhembus kuat menyusup paksa tiap tameng-tameng tembok bambu. Hangat telah tercipta atau mungkin dingin yang telah membias dan memaksa jaring kulit terbiasa dengan kutukan mantranya. Tetap tak ada kata terucap dari salah satu mereka. Cuaca yang menyalami diri dalam hangat tak mengubah Si bisu dan Si kepala batu untuk bisa saling mendekat bukan dalam urusan jarak. Dan alam mengerti jalan tengah untuk mengikat keduanya. Bukan dengan pemahaman, bukan dengan kesadaran. Namun melalui rintik hujan yang meneteskan ribuan aksara dan panjangnya untaian kata. Alam berpuisi dalam hujan untuk ia yang tak sanggup sekedar mengucap "a" dari mulutnya. Alam berirama dalam senandung mesra untuknya yang tak mengenal partikel halus bernama suara. Suara dari banyak mulut, banyak hati, banyak alinea. Alam menyerahkan pada keduanya teka-teki melalui rintik hujan. Dan dingin kembali datang.

Satu kotak penuh kilas balik telah terkemas rapi, teronggok manis disamping sesosok tubuh dengan rambut berkuncir. Satu tahun berlalu semenjak cerita abstraknya disaksikan alam. Si bisu telah berhasil mengucap beberapa suku kata, si kepala batu mulai sadar dengan adanya air dan partikel halus yang menyerbuki bumi, tempat tinggalnya. Dan hujan masih saja meneteskan puisi, hujan masih saja menyajikan irama. Dulu rintik-rintik merdu itu masih sanggup merayu, dulu rintik-rintik bernada itu masih sanggup membekukan waktu. Dulu dingin yang datang bersamaan rintik besar itu masih sanggup meremukkan sendi bahkan mematikan.
Dan sekarang yang tersisa adalah pembiasan rasa. Alam sanggup menghidangkan hujan sebagai tali untuk membahasakan apa yang harus terucap, tapi alam sepertinya tak sanggup mencermati setiap arti dari ayunan jemari juga berbagai pola tangan yang diciptakan Si bisu, tapi alam sepertinya tak sanggup memasuki area dasar bahwasanya didataran kehidupan ini ada partikel keras juga yang menjadi alas bagi bumi dalam garis keseimbangannya.

Waktu dan hujan berlomba meracuni kesadaran untuk menyerah menyatukan Si bisu dan Si kepala batu, tapi harapan tersemai dari masing keduanya. Alam menang dalam upaya pengikatan. Hujan berperan bak Joker dalam sinemanya yang menyimpan banyak elegi misteri. Dan yang tersisa sekarang hanyalah pembiasan rasa. Pembunuhan sadis terhadap jaring kulit beserta lapisan dibawahnya. Ia yang tengah teronggok mengalirkan air dari retina, memeluk sekotak penuh kilas balik kisahnya. Dan ia yang tengah mengudara mencoba bernegoisasi dengan alam agar berhenti merayakan euforia kemenangan dan berharap ada formula nyata lain yang sanggup menghadirkan suara dari teman berteduhnya.

Dingin kembali menyapa, remah-remah tajam mencuat menusuk tiap inchi tulang. Dingin kembali mencoba menghunuskan tajam kuasanya. Tanpa peduli jika Si bisu tengah sendiri didalam bilik sama seperti satu tahun lalu ia melewati amukannya bersama ia yang tengah mengangkasa. Membiarkan dingin melumuri keduanya dalam diam yang targambarkan oleh satu goresan saja.

Dan sepertinya alam belum terketuk lagi untuk mau membantu menghadirkan resep ampuhnya. Ia hanya memandang, membiarkan rintik hujan kembali menyapa, membiarkan Si bisu terdiam ketika lelah menghampiri pergerakan tangan isyaratnya, membiarkan Si kepala batu mengais sendiri jawaban yang sebenarnya ada dalam genggaman namun tak disadarinya. Alam hanya memandangi keduanya. Membiarkan asa mempermainkan waktu yang juga tengah mempermainkan retina salah satu dari mereka hingga kemudian meneteslah air yang dikandungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar