Senin, 28 Juli 2014

Tentang Huruf "I"

Malam bertabur banyak suara. Melodi menjadi tanah bagi mereka yang terus menjejakkan pendengarannya, dan siangku berdiri terpisah di dalam kantong saku baju polkadot merah, kuning, hijau juga biru.

Ini adalah satu spasi yang terlahir untuk ia yang tengah dalam balutan hijau daunnya. Keberadaannya yang berada dalam lingkup garis tebal mulai menunjukkan kekuatan sekaligus menghadirkan ketakutan tersendiri bagiku.

Gelembung balon perlahan membentuk kesejatian dirinya dalam kekuatan pompa yang bernafas melalui pergerakan tapak kaki, putih lemah bercorak putih kuat, hijau, biru bercorak hitam dan yang tengah genggamanku adalah hijau bercorak putih. Ketika yang lain mulai membentuk kurva tersendiri, disaat yang lain berhasil terbang karena kekuatan dari keras jejakan kakinya, ia hanya mampu tergeletak di sudut berisikan udara seada-adanya. Tanpa bisa berteriak menggugat yang ada, dan yang ia bisa hanyalah terdiam menikmati perbedaan.

Dear gelembung hijau, langkahmu melaju mungkin tersendat nafas juga tali harapan. Kakimu terjegal banyak mulut yang enggan turun tangan memenuhi luasmu. Aku tau..aku tau karena mata kurcacimu mengatakan bahkan memintaku untuk mendekap juga melindungi dari sekedar pengapnya ruang.
Engkau tidak berjuang sendiri sayang, ketidakberdayaanmu mengudara mungkin berhasil mematikan inginku untuk memungutmu dari kemungkinan terbuangnya engkau karena tersisihkan. Dan aku adalah mungkin sesuatu yang harus tercipta lain. Ya, terkadang didunia ini, memang harus ada yang menjadi tanah agar udara terlihat lebih ada sekalipun hadirnya tak tertangkap retina.

Dan itu aku. Telah hadir rumus waktu dalam mimpiku, bahwa disana nanti hanya ada aku dan kau dalam balutan mengagumkanmu. Disana nanti hanya ada aku dan rimbunnya pohon berdaun lebar. Disana hanya menyisakan aku beserta engkau dalam genggamanku, berdua melebur dalam dunia tak tersentuh tangan beragenda.
Dan suara tak lagi penting karena yang mereka butuhkan selalunya hanyalah kebaikan dimata orang.

Dear gelembung hijau, ketersisihanmu dari garis normal adalah awal kesadaran bahwa aku harus mendekapmu, karena kita satu lingkaran. Terlahir dari darah juga sperma yang sama, terkandung dari luasnya perut bumi yang tak akan terjangkau kaki. Dan kemudian engkau ditakdirkan berbeda. Tak apa, hanya sebatas nada. Hanya sebatas suara. Dan dunia akhirnya akan menyadari keberadaan kita. Dua nyawa disudutan yang tersapu erosi takdir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar