Kamis, 14 Agustus 2014

Aku Dan Ari Di Hari Jadi Yang Terlampaui Tiga Hari

Aku ingin menunjukkan, kepada alam yang selama ini mau bersahabat karib dengan sepiku. Aku ingin menunjukkan, kepada semesta yang sejauh ini berhasil menjaring balon udara agar tetap dalam jangkauan tanganku.

Jilatan ombak menyapa persendian dasar kaki, alam berharap buih kotor yang terus menggulung pasir sanggup menyurutkan asa juga bara cintaku pada air laut, ya..hanya air laut.
Kakiku terus menapak, kakiku terus menjejak, tawa memeluk setiap lipatan air yang meninggi. Dunia harus tau, bahwa aku tengah bahagia dalam dekapan buih kotor semesta raya.

Masih bisa ku ingat gemericik desir air dibawah jembatan besar di penghujung kota, mendamaikan, menghadirkan, namun derasnya tak sanggup mengundang kebahagiaan. Aku butuh terjangan ombak lebih keras untuk bisa tertawa gila dan lepas dari landasan normalku. Laut, aku mengaguminya hingga persendian tulang dalamku.
Dan seperti juga cuaca seperti itulah rasa yang terkandung dalam tubuh anomali batu kali. Ada, tak tertuang kata dan tersembunyi dalam kelam.




Sebaris kata untuk hari jadi yang terlampaui tiga hari.
Harapan terajut manis bersama benang sangkakala. Keabadian diharapkan mau mengecup hingga celah tersempitnya, dan belum juga kudapati kata yang pas demi menggambarkan rasa betapa aku telah menemukan. Sesuatu yang terpisah bersama ari, sesuatu yang terputus dari jaringan plasenta, menghadirkan sosoknya dalam ujud manusia, setelah 20tahun lebih berkelana.

Dear ari-ariku, akhirnya kita saling menemukan. Hidup ini luas bukan? Dan butuh hampir seperempat abad untuk kita bisa saling menggengam. Sebelum ku rentangkan banyak kalimat bersyukur karena akhirnya memilikimu, ijinkan aku menyuguhkan padamu senampan kue pembuka. Sebaris cerita tentang aku dan alam yang selama ini menjalin persahabatan, tenang aku dan alam yang mutlak saling memiliki namun tak sekalipun berniat saling menyematkan ikat. Hanya sadar keduanya saling hadir, keduanya memiliki telepon batin itu saja. Tak ada yang tau betapa aku sangat mengagumi cara kerja semesta ini demi menghibur kesepianku. Dihadirkan olehnya riak kecil daratan pantai ketika raga ini mulai merengek mengharapkan
pelepasan dari pengap udara berjalan. Dihadirkan olehnya juga lambaian daun padi diterik siang yang selalunya membuat siapapun berlari menyerbu atap teduh terdekatnya. Dalam balutan nada tak berspasi katak sawah, ia hadir disana..meledek hariku yang tengah dalam ujung sempurna. Bahkan ari, alam menyapu serak tangis yang jatuh karena ulahmu dalam sapaan singkat ujung mahoni ditepi jalan. Ia sangat dekat, ia bahkan melekat, ia yang ku sebut sahabat, ia yang tak berkontur sepertiku, sepertimu dan ribuan manusia lainnya. Untuk itukah aku disebut gila?

Dear ari, penduduk dunia selalu menyebutku gila, mereka tak pernah paham kenapa aku selalu bisa mengapresiasikan alam dalam kesempurnaan layaknya alam adalah sesosok kawan. Bahkan ari, tanyamu ikut hadir menyertai ketika aku tengah bercengkerama bersama debur ombak dengan buih kotornya.
Kenapa bertanya sayang, bukankah sudah kujelaskan diawal keterikatan kita bahwa aku sesuatu yang lain? Laut bagiku adalah kawan siangku, celoteh binatang senja adalah kawan yang mengantarku pada kegelapan, sementara hening tak bertepi adalah sejenis TTM menjeput pagiku. Ia adalah rentetan temanku ari, satu-satunya paket teman yang kugenggam erat dalam saku menuju akhir tanya kehidupan.


Tak bisa dielakkan, aku dan uluran selmu juga terbungkus rapi dalam balutan alam. Aku dan jiwa terbangmu berkeliaran rapi dalam pelukan luas semesta raya. Dan aku berterimakasih tak terhingga untuk penyatuan kita yang terhidang dalam mangkuk ketidaksengajaan.
Luasnya aku yang terpawangi adanya garis diujung nyata dengan perairan samudera, tingginya jangkauanmu yang terpalang rapi awan-awan menggantung diudara. Tak bisa dihindari, ada saat nanti kita memang harus memiliki, mencumbui setiap helai dikepala dan menghadirkan dewata.

Sekiranya engkau paham ari, tentang adanya nyawa yang tak terikat raga. Tentang adanya hidup yang tak terbalut plasenta. Dan masih kuharapkan engkau paham tentang hadirnya aku dalam ujud membingungkan, dalam format ketidak sempurnaan.

Dear ari, terimakasih untuk penjelajahan dunia baru ini. Lingkupan bereuforia yang sama sekali baru pernah kujejakkan tapak nyatanya disana. Terimakasih untuk waktu, untuk keheningan, untuk pemahaman, untuk pelukan, untuk kecupan, untuk sentuhan, untuk kesediaanmu memahami kegilaan juga kemesraanku kepada satu-satunya kawan. Alam.
Terimakasih untuk satu tahun petualangan ini, tanpamu aku tetaplah si penikmat batu kali. Yang berusaha untuk ada, sekalipun tetap saja hadirku lenyap dalam lumatan kelam.
Dear ari, pahamkah juga engkau untuk ritme nyanyian caraku? Yang tak sanggup berbicara dalam format nyata. Dan yang tak sanggup bersuara dalam jangkauan telinga. Hanya kata, hanya deburan gelombang airlaut saja. Dan aku harap engkau terbiasa.




Nyanyian katak bersahutan mengiringi jalanku pulang, meledek aku yang tengah dalam kesempurnaan hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar