Minggu, 31 Agustus 2014

Tiga Sahabat

Dentang jarum jam menunjukkan waktu yang kian sebenarnya. Malam.
Udara menghunus tulang melalui dinginnya yang tak terkira. Dan yang tengah ku inginkan sekarang hanyalah menanti pagi menjemputku dari dekapan kebekuan. Aku membenci dingin, dengan atau tanpa adanya alasan pasti disana. Aku membenci dingin karena aku tau tubuhku tak pernah sudi berjabat tangan dengan keberadaannya.

.
Puisi bertebaran disepanjang jalan halaman. Merobek pasti kesucian nan putih dari selembar kertas. Dan dari kerelaannya untuk dinodai tintalah cerita mengagumkannya dimulai.

.

Malam ini tak ingin aku bercanda ria bersama alam, melempar celoteh dalam bentuk tulisan dan melayangkan cubitan kecil dalam ujud sejudul cerita. Yang tengah aku inginkan hanyalah meresapi satu nama. Nama yang kusisipkan pasti dalam tiap tengadah tanganku menghadap Ilahi. Ari dan Alam.

.
.
Ari dan Alam adalah dua spesies langka. Mereka sama-sama menghadirkan padaku dingin yang mencekik juga misteri yang menguliti. Ari dan alam sama-sama menyuguhkan padaku pemandangan surga juga aroma neraka. Dan bahagiaku berada dalam kecakapanku menghitung jumlah senyum yang diberikan keduanya tanpa harus menambahkan berapa liter tetes air yang pernah diperlihatkan mata.

.
Dear malam, sunyi yang kau tawarkan lewat sepertigamu adalah masih teman terbaikku hingga hari ini. Senyap yang menyertai masih adalah camilan favoritku menghabiskan waktu. Darinya aku mendapatkan keluasan demi mengorek apa yang tersembunyi dilekukan otak selagi siang tak mampu memberi jawaban. Tapi dingin itu, aroma yang membungkusku dalam kutukan beku itu. Aku tak menyukainya. Aku membenci ketika ia mulai mengikutimu yang hendak menyapa gulitaku. Dear malam, dingin milikmu seperti hendak membunuhku. Seperti ketika Ari yang datang dalam pengaktifan acuhnya. Seperti ketika Alam yang menyapa dalam gugus lintang menyalanya.

.
Dear malam, biarkan aku menumpahkan semuanya disini. Malam ini. Jangan berfikir karena engkau adalah gulita maka layak untuk kuhadiahi sekelumit cerita berisi derita. Tapi karena engkau adalah yang terbaik dari semuanya. Se mu a nya.
.
Ini tentang mereka, Ari dan Alam yang istimewa. Ini tentang mereka yang selalu mengajakku bercinta dan memperlihatkan surga. Sepertimu, mereka adalah jajaran terbaik yang kupunya. Sepertimu, mereka masuk juga dalam kotak pandora yang ingin ku jaga selamanya. Tapi malam, mereka terkadang menunjukkan seringai. Wajah halus bertabur sinar mentari itu terkadang menunjukkan padaku senyum beku. Sedang aku adalah manusia statis. Kepekaan berlebih menuntunku menjadi sosok yang lebih perasa. Satu saja senyum janggal sanggup menggoresku bahkan hingga menganga. Dan mereka, mereka terkadang datang membawa senyum janggal itu, malam. Aku sakit. Dan jujur akan membuatku terlihat semakin anomali. Jujur akan membuka jaring yang selama ini membedongku erat menuju satu ego yang mengerucut.
.

Dear malam, terkadang memang benar ketika kita harus manut pada adanya rumus. Menjumlah kebahagian tanpa harus mengikutsertakan sedih dalam hitungannya. Dengan begitu mungkin kita akan tetap bisa menjaga sesuatu yang bernama cinta tetap pada tempatnya.
Ari terkadang membuatku harus menekan kuat pelipis dan mengencangkan otot retina. Tapi Ari tak pernah absen datang disaat semuanya memilih untuk tetap terdiam. Tapi Ari selalu ingat apa yang mereka semua alpakan dalam pikiran. Tapi Ari selalu bertahan sekalipun pertahanannya terkadang membawa serta dingin yang menggoresi. Itu pasti bukan kekurangannya. Tapi aku, anomalilah sebenarnya satu-satunya kekuranganku.
Alam terkadang membuatku gila. Alam terkadang membuatku merasa kurang manusia. Tapi Alam dan aku sama, kita adalah dua yang tak akan sanggup saling digantikan keberadaannya oleh apapun. Tapi Alam selalu memberiku kebebasan, melamuni air didanau dangkal, menyerapi udara tanpa harus membayar, menghitungi tanah tanpa harus ada pendefinisian. Tapi Alam selalu hadir tanpa aku harus berusaha menemui. Tapi Alam menyelimuti dimanapun langkahku berjalan. Dan Alam tetap dalam keindahan mengagumkannya yang tak pernah berhenti membuatku tercengang. Sekalipun memang, lagi-lagi dingin yang dibawa Alam selalu bisa mencekik dan membuatku menganak air mata.
.
Dear malam, sekiranya engkau sudi menuntunku untuk terus tersadar bahwasanya tak akan ada cerita sedih jika aku mau menurunkan sedikit saja ego juga darah anomaliku. Sekiranya engkau sudi untuk terus bersabar karena aku sering mengotori kesucianmu dalam tangis untuk mereka.
Dear malam, aku bisa tersenyum kini. Aku bisa kembali tumbuh setelah kemarin hampir mati terinjak erosi harian. Terbukti engkau masihlah yang terbaik hingga hari ini. Keluasan aksaramu adalah obat, sekaligus candu yang menenangkan gejolak amarahku. Keluasan aksaramu adalah vitamin. Bagi otak yang senantiasa butuh pengairan juga pengaliran. :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar