Sabtu, 30 Agustus 2014

Sepotong Nyawa Dalam Caravansary

Kembali aku terlempar diudara...tersuruk dalam kelembutan kapas putih bernama awan. Mataku memburam, tersaput banyaknya tanya yang begitu saja tergeletak dihamparan karpet langit.
Aroma senyap kubaui sekali lagi, tersendu sesaat ketika kudapati sadar bahwa kembali aku disudutkan disini.
Tempat abadi, satu-satunya tempat yang menjadi persinggahanku sebagai manusia tanpa nama. Satu-satunya tempat yang mau menerimaku tanpa lagi menyuguhkan tanya tentang siapa aku, bagaimana dan kenapa. Satu-satunya tempat yang berhasil meyakinkanku bahwa ia sanggup mengurai tetesan air diretina menjadi butiran-butiran harta.

Kemarin lusa, nyawaku terjepit, ketika harus diceburkan ke dalam ruang penuh sosok berjubah malaikat. Sementara itu dengan segala kelihaian mereka disulaplah tanduk diatas kepala menjadi tahta penuh gemerlap berbagai warna. Aku diceburkan dalam sekolam penuh sesak makluk yang tengah beradu pedang.
Dengan mantra-mantra kutukan memenuhi segala sudut ruang tanpa lagi mengenali sosok sasaran.
Ujung paruku menyempit, pesendianku mulai ngilu, bahkan nafasku melambat dalam hitungan satu-dua-satu. Aku sekarat..terlalu berat ketika harus kujalani hari bersama sosok berkarat. Separuh darah suci yang mengaliriku mulai meraung, menembus segala diam ditiap sudut jiwa bahwa ia menginginkan pelepasan. Ia mulai merengek bahwa tak seharusnya aku berada disana, dalam ruang pengap penuh kemunafikan. Perang dua aliran darah tumpah tak lagi terelakkan. Menjadikan tubuhku ini sabagai daratan bebas tak bertuan. Jadilah aku, setengah manusia yang tengah dalam persimpangan. Peperangan.

.

.
Detik ini..dalam nikmatnya sengatan matahari, lembutnya bantal awan dan hembusan angin surgawi kembali aku dihadapkan pada satu dilema. Sepi yang lambat laun melumatku dalam goresan samurainya. Sepi yang perlahan melenyapkan nyawaku. Membunuhku.

Dalam keheningan total semuanya beraliensi menjadi penguji, nada-nada merajuk merayuku untuk terlelap, kicauan merpati menyapaku mengajak untuk bersua mimpi, hembusan angin menyusup hingga sumsumku menarikan banyak gerakan tanpa angka hitungan. Aku hanya manut..berharap kepatuhanku kepada pemilik awan sanggup menghadirkan untukku satu saja kawan. Berharap ketidak adaan geliat dalam nafasku memberinya sentuhan berarti hingga ia terketuk memberiku satu saja teman bernyawa.

.
.
Harapan adalah jilatan pedang, kata adalah mantra yang melumuri tiap ujung sayatannya. Dalam kepatuhan tanpa batasan, kembali aku terlempar dalam satu kesadaran. Siapa aku? Bagaimana dan kenapa semuanya menjadi pertanyaan? Dalam dunia yang seharusnya ada untuk artefakku yang disebut manusia, kenapa tetap juga kutemui prasangka? Iritasi yang terus tergores hingga luka tak lagi bisa disebut luka. Ia telah berganti nama menjadi bencana. Dan dalam lingkup dimana semua ruang adalah lengang, di penghujung langit, kenapa masih juga kudapati sepi yang menusuk tanpa permisi? Aku..dimanakah harusnya sebenarnya aku?

.
.
Gegap gempita nafas menyambutku pada detik pertama kepulanganku dari persinggahan diatas awan. Satu nyawa menyapa, dua raga mengajakku berbicara, tiga nama mulai menyodorkanku banyak tanya.
Ahhh...tanya, bedebah satu itu kenapa datang lagi? Bahkan tak diberinya aku satu saja waktu untuk sekedar bernafas lega tanpa menghirup tanya dan tanya. Telah kumasuki dunia yang kengeriannya tak akan pernah sanggup untuk siapapun berani sekedar mempertanyakan. Telah kusinggahi juga tempat dimana semua aroma yang kucecap adalah semerbaknya surga, tempat dimana seberapapun jauh mataku memandang yang ada hanyalah kedamaian, hening yang meluap dari empuknya dataran awan. Dan kini, yang tersisa adalah kata-kata. Kakiku melangkah sejauh ia sanggup, mataku memandang seluas retina sanggup berkelana. Tapi semua tak menyisakan makna. Karena kembali, hanya kutemukan kawan, kutemukan sejumput harapan, kutemukan sederet teman dan ku temukan juga secuil nyawa dari para penghuni cakrawala aksara.
Tetes peluh kusulap menjadi koma. Tawa bahagia kumantrai menjadi spasi. Dan dari itu semua, dari kehadiran sesuatu yang tak pernah ada, berhasil ku kelabui diri dengan berbagai macam janji. Janji bahwa aku tidak akan pernah sendiri, janji bahwa semua akan menguap dari persembunyian, janji bahwa tak akan pernah kubiarkan diriku kesepian. Secercah harapan yang muncul dari pembohongan massal dari diri sendiri untuk diri sendiri.

.
.
Telah kulalui banyak jalanan lebih panjang dari siapapun yang berkaki, telah kulalui banyak perang dimana darah bukanlah sesuatu yang berarti ketika harus ditumpahkan. Telah juga kulalui banyak hari dimana keabnormalan menjadi judul untuk tiap ekspedisiku.
Jalanan ini, tak akan mungkin hadir dengan lebih mengerikan lagi. Dinginnya aspal tak akan lagi sanggup membunuhku untuk kesekian kali. Karena telah kubentengi diri dari mantra pembunuh terhebat sepanjang masa yang pernah ada di dunia ini. Sepi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar